🌧 [05] :: Pemilik Kucing

2.3K 323 1
                                    

SAMBIL memandangi tanaman-tanaman hias kesayangan Tante Ratna di halaman depan rumahnya, Fahla duduk bersila di atas kursi kayu dengan tangan kanan yang menempelkan ponsel pada telinga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SAMBIL memandangi tanaman-tanaman hias kesayangan Tante Ratna di halaman depan rumahnya, Fahla duduk bersila di atas kursi kayu dengan tangan kanan yang menempelkan ponsel pada telinga. Naya, sobat karibnya di kampus, tiba-tiba saja menelepon dan sudah lebih dari setengah jam ia sibuk menceritakan bagaimana keseruannya selama di puncak.

"Sumpah deh, La, kalo gue jadi lo gue pasti nyesel banget nggak ikutan," ujar Naya yang masih saja asyik mengoceh hingga membuat Fahla hanya bisa mengembuskan napas berat. "Kapan lagi coba bisa liburan bareng anak kelas gini?"

"Tapi gue bukan lo ya, Nay, dan gue nggak nyesel sama sekali, tuh," sahut Fahla dengan tegas karena ia memang sungguh-sungguh tak menyesali keputusannya. "Gue beneran lagi males deh ikut kegiatan rame-rame gitu, makanya gue lebih milih ke Lembang."

"Hadeh, kayaknya sia-sia gue udah cerita panjang lebar, niatnya kan pengen manas-manasin lo gitu." Naya terkekeh kecil. Lalu dengan penuh kehebohan seperti sebelumnya ia melanjutkan, "Eh, eh, tapi La, kemaren Kafka sempet nanyain lo ke gue, tau. Pas sebelum berangkat juga sibuk nyariin lo. Nggak tau aja dia kalo alasan utama lo nggak ikut ya karena dia sendiri juga."

Lagi-lagi Fahla mendengar nama itu, membuatnya seketika tercenung. Meski Fahla sudah malas membicarakan sesuatu yang berkaitan dengannya, tetapi perempuan itu tak bisa berbohong bahwa masih ada sedikit rasa peduli yang tersisa dalam dirinya, dan Fahla benci mengakui hal itu. Tiga bulan memang tidak bisa dibilang sebentar, Fahla tentu tak bisa lepas dari semuanya begitu saja.

"Dia nanya apa ke lo?" tanya Fahla kemudian di luar kendalinya.

"Yaaa nanyain kenapa lo nggak ikut, lo di Bandung sama siapa, terus Lembang itu tempatnya siapa. Gue jawabin aja tuh atu-atu, lo nggak ikut karena males, terus lo main ke rumah temen SMA lo di Bandung, terus lanjut ke Lembang buat stay di rumah tante lo selama liburan. Eh, tapi kira-kira Kafka bakal nekat nyamperin lo ke sana nggak, ya?"

"Nggak lah, Nay. Kafka bukan tipe yang kayak gitu. I mean, ini gue, loh. Kalo berkaitan sama Ghina, mungkin bakal beda lagi ceritanya ...."

"La ...."

Fahla tertawa hambar. Mengingat Kafka membuatnya terbawa suasana hingga tanpa sadar ia kembali menyakiti dirinya sendiri. Fahla sendiri tak tahu kenapa ia bisa dengan mudahnya menyebut nama perempuan yang paling tak ingin ia dengar, lebih-lebih dari Kafka.

"Duh, jadi ngerasa bersalah gue malah bahas Kafka sama lo," tukas Naya dengan intonasi penuh sesal. "Sori banget ya, Laaa. Padahal lo udah jauh-jauh ke rumah Tante Lo biar bisa cepet move on."

"Apa sih, Nay, santai aja kali. Lagian gue juga--"

"Meow."

Eh, suara kucing? Fahla segera menggerakkan kepala ke arah kanan di mana sumber suara berasal. Kedua matanya langsung berbinar kala menemukan seekor kucing gendut berbulu putih lebat tengah duduk di dekat mobilnya yang terparkir di carport.

Fahla pun terburu-buru bingkas dari kursi sambil menyudahi teleponnya dengan Naya. "Nay, lanjut telepon lagi nanti, ya, gue mendadak ada urusan penting nih. Bye!" Setelah memutuskan sambungan, Fahla meletakkan ponsel di atas meja kecil secara asal dan lekas menghampiri kucing tadi. Percakapannya dengan Naya tadi pun seolah tak pernah jadi.

"Meow."

Makhluk berbulu itu kembali bersuara saat Fahla berjongkok di depannya sambil mengelus pelan kepalanya. Tak lama kemudian, suara dengkuran halus pun terdengar. Fahla sedikit takjub karena tidak butuh waktu lama baginya untuk berkenalan dengan kucing tersebut.

"Kamu pasti nyasar ke sini, ya?" Fahla berasumsi bahwa kucing ini pasti punya orang yang tinggal di sekitar sana jika melihat dari sebuah kalung yang melingkari lehernya. Ia juga tak yakin kucing kampung yang berkeliaran di jalanan bisa memiliki bulu lebat dan bersih seperti itu. "Sayang banget nggak ada makanan kucing di sini. Adanya ayam goreng yang dibeli di warteg depan sama Tante Ratna. Kamu suka ayam goreng, nggak?"

Kucing itu mengeong sekali dan bergerak mendekati Fahla untuk menggesekkan kepalanya di kaki perempuan itu, masih sambil mendengkur. Fahla menjadi semakin gemas karenanya. Perempuan itu kemudian mencoba menggendong kucing itu dan membawanya keluar dari rumah.

"Makan ayam gorengnya nanti aja, ya, kalo udah diizinin sama babu kamu. Kucing mahal kan nggak boleh makan sembarangan." Fahla terus saja berceloteh dengan sang kucing meski tahu ia takkan mendapat balasan. Yah, mau bagaimana lagi, rasa sukanya yang besar terhadap makhluk paling menggemaskan di dunia itu lah yang membuat Fahla menjadi seperti itu.

Kalau saja kucing itu tidak ada yang punya, Fahla pasti akan mencoba segala cara agar Tante Ratna memberi izin untuk memeliharanya.

Ah, tapi, kira-kira siapa pemilik makhluk berbulu ini, ya? Lingkungan sekitar yang sepi membuat Fahla bingung harus bertanya pada siapa. Apakah ini artinya Fahla bisa bermain sedikit lebih lama dengan kucing itu?

"Maaf, itu kucing saya."

Tubuh Fahla seketika tersentak karena kaget. Ia cepat-cepat berbalik dengan kedua matanya yang masih membola. Sesosok laki-laki yang sudah tidak asing lagi baginya tahu-tahu saja sudah berdiri di sana, entah sejak kapan. Bagaimana bisa ia datang tanpa menimbulkan suara sedikit pun--selain yang berasal dari mulutnya?

"Oh ... punya lo ternyata," Fahla membalas dengan senyum kikuk. Ragu-ragu ia pun menyerahkan sang kucing kepada pemilik yang sesungguhnya, yang ternyata adalah si penjaga toko buku. "Tadi dia tiba-tiba aja udah ada di teras rumah gue."

Laki-laki itu segera mengambil alih kucingnya yang sama sekali tak memberontak. Sejenak ia mengelus peliharaannya dengan lembut. Senyum kecil bahkan terpatri di bibirnya, yang bahkan masih bertahan ketika ia kembali bertatapan dengan Fahla.

"Dia emang kadang suka main keluar di sekitar sini," ujar laki-laki itu. "Makasih ya, saya balik dulu kalo gitu."

"Oh, iya, sama-sama."

Fahla kemudian memerhatikan laki-laki itu yang berlalu dari hadapannya. Lalu tiba-tiba saja sebuah pemikiran terlintas dalam benak.

"Eh, tunggu," ucap Fahla secara spontan sebelum laki-laki itu pergi lebih jauh. Setelah memastikan ia berhenti dan berbalik dengan tatapan penuh tanya, Fahla pun melanjutkan, "Gue ... mau main ke toko buku lo. Boleh?"

Beberapa detik berlalu, Fahla langsung tersadar bahwa sesungguhnya ia tak perlu bertanya seperti itu. Kenapa harus minta izin segala untuk berkunjung ke toko buku yang memang dibuka untuk umum?

Entah apa pula yang dipikirkan laki-laki itu. Tetapi jika dilihat dari ekspresinya, ia sama sekali tidak menganggap Fahla bodoh atau aneh. Dan sebagai penguat dari fakta tersebut, ia bahkan mengangguk dan memberikan sebuah jawaban yang Fahla butuhkan.

"Boleh."

Yah, baiklah, itu artinya, toko buku tersebut akan menjadi tempat baru yang akan Fahla kunjungi di hari keduanya berlibur di sana.

🌧

bandung, 20 desember 2021

It's Raining Outside [END]Where stories live. Discover now