“Ya, sekarang kau memindahkan najis itu di bajuku? Yang benar saja. Kau membuatku semakin marah, Gesya.” Kaivan menepis tangan Gesya yang menahan bajunya.

Perempuan itu membawahi bibirnya dengan lidah. Wajahnya mendongak berusaha menghalau air mata yang siap jatuh. Gesya merasa ini sudah cukup, bukanlah ia sudah terlalu banyak menangis.

“Maaf.” Gesya menarik tengkuk Kaivan. Niatnya hanya ingin benar-benar menghilangkan jejak Bian agar amarah Kaivan segera menyusut tapi laki-laki itu lagi-lagi menolak membuat Gesya menjerit emosi. “APA MAUMU, SIALAN?! MAU MEMBAKAR BIBIRKU? MAU MEMATAHKAN KAKIKU?! LAKUKAN SAJA! SILAKAN! LAKUKAN SAJA! LAKUKAN SAMPAI PUAS!”

Geysa terisak kuat. Ia memukul dada Kaivan membabi buta hingga akhirnya ia menjatuhkan diri ke pelukan Kaivan. “Kau sangat jahat,” isaknya lirih. “Lakukan saja Kaivan. Lakukan. Aku tahu, walau aku berusaha keras membersihkannya, jejak Bian tidak akan hilang bukan?” Ia mendongak dan tertawa kecil.

Kaivan menghela napas kasar. Ia memasukkan korek apinya ke dalam saku dan kemudian membalas pelukan Gesya. Ada sesuatu yang menekan dadanya saat melihat tawa Gesya. Apa ia sudah sangat keterlaluan? “Aku tidak akan meminta maaf.”

Ya, Kaivan tidak akan meminta maaf. Walau sudah keterlaluan, tapi bukankah ini disebabkan oleh Gesya. Gesya yang tidak bisa menjaga batasannya.

“Kenapa harus meminta maaf? Kau tidak salah.” Gesya tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada Kaivan.

“Kau justru semakin memojokkanku untuk merasa bersalah.” Kaivan berdecak. Reaksi hatinya berbanding terbalik dengan kalimat yang baru saja dikeluarkan Gesya. Ia malah jadi bertanya-tanya dan menuduh diri sendiri. Rasa bersalah itu timbul. Apakah seharunya ia tidak melakukan ini? Lagi pula sebenarnya Gesya bukan istrinya.

Kaivan menggeleng cepat. Tidak, tidak! Tidak akan ia biarkan rasa bersalah itu semakin besar hingga bibirnya menyebutkan kata maaf.

“Aku yang salah. Jadi jangan merasa bersalah.”

Oh, sial! Gesya kembali berbicara. Sepertinya perempuan itu mau menyulut amarahnya. Lihatlah, dari nada-nadanya Kaivan merasa disindir.

“Jangan banyak bicara lagi. Jika tau kau salah, maka jangan pernah mengulanginya lagi. Aku tidak bisa berbagi, apalagi itu tentangmu, Gesya. Kau istriku, hanya milikku, dan selamanya milikku," tekan Kaivan mengatakan hak mutlak kepemilikannya terhadap Gesya. Ia mengusap surai Gesya lembut dan berakhir dengan memberikan ciuman hangat di bibir Gesya. Tidak akan ia biarkan jejak Bian berlama-lama di bibir jodohnya. Memang laki-laki itu siapa? Bian tidak punya hak apapun, semua tentangnya harus segera disingkirkan dari Gesya, bahkan jejaknya sekalipun.

Tangan Geysa yang berada di pinggang Kaivan tanpa sadar meremas pelan. Jujur saja, ia kira akan mendapatkan ciuman kasar dan menuntut mengingat Kaivan sangat marah tadi, tapi rupanya tidak. Kaivan bahkan memberikan ciuman terlembutnya.

“Sudah cukup. Bibirku sudah dipenuhi jejakmu.” Geysa mendorong Kaivan begitu selesai dan laki-laki itu hendak menyambung lagi. Hal itu tentu saja membuat Kaivan berdecak sebal.

“Aku masih belum puas.” Mana pernah ia merasa puas hanya dengan ciuman singkat itu. Jika bisa ia akan mencium Gesya dari terbit fajar sampai terbit fajar lagi.

Geysa pura-pura tidak mendengar. Ia sibuk mengedarkan pandang. Jalanan cukup lengang. Supir taksi itu pasti orang Kaivan, ia sudah menyebutkan alamat rumahnya, tapi malah dibawa kemari, jalan yang bertolak belakang menuju rumahnya.

“Di sini sangat sepi bukan? Pasti karena itu kau menyerahkan diri dan tak banyak melawan. Kau sangat penakut, Gesya,” ejek Kaivan sembari menyelipkan beberapa helai rambut Gesya ke daun telinga. Ia menatap dengan intens.

He is CrazyWhere stories live. Discover now