"Kebetulan aja lah itu. Tau gak Ya? Waktu bayi lo jelek banget, nah gue ganteng karena gue anak kandung."

"Tapi Eyaa cantik...ya kan Ma?" tanya Teya.

"Mana ada! Lo sebenarnya jelek, anak pungut lagi," ujar Zean makin menjadi jadi.

"Eyaa telpon papaa!" teriak Teya. Ia menghentakkan kakinya dan mengusap matanya.

"Mama gak ikut ikutan ya sayang, kalo sampe Teya ngadu," ujar Aeris.

Zean tertawa dengan puas. Ia merangkul pundak adiknya. Cowok itu mendaratkan kecupan singkat di pipi Teya. "Bercanda aelah! Damai deh kita Ya," ujar Zean membujuk.

••••

Damela menghempaskan tangannya yang dipegang dan ditarik oleh manusia didepannya. Ia menatap tajam kearah Devara yang sekarang malah menghembuskan napasnya karena tertekan. "Lo ngapain Mel?! Cepet sini!" bentak Deva. Ia kembali menghampiri Damela yang tetap tak mau diajak untuk memasuki restorant didalam mall yang besar ini.

"Bajingan lo!" teriak Damela.

Devara berdecak. Akibat teriakan wanita ini, beberapa orang menengok kearah mereka. "Gue tutup mulut lo ya?! Ribet banget timbang makan doang!" ujarnya kemudian kembali menarik Damela untuk masuk kedalam restorant.

"Gue gak mau makan sama lo! Lo itu brengsek! Gak jelas! Anjing!"

Devara terdiam sesaat. Ia berdecak malas. Cowok itu menarik Damela dan mendorong Damela hingga punggung cewek itu terhantub ke dinding kaca. Cowok dengan paras tampan dan hidung yang mancung itu memperhatikan wajah wanita didepannya, desiran napas cowok itu terasa membelai wajahnya. "Lo bisa berhenti gak?" gumamnya dengan suara kecil namun tegas.

Damela kehilangan keberaniannya untuk memaki ataupun bergerak. Ia lebih memilih memalingkan wajahnya kesamping. "Semua yang gue omongin itu fakta. Kenapa lo marah?" tanya Damela sembari tersenyum meremehkan.
"Gue bukan orang baik. Lo gak perlu ingetin gue tentang hal itu disetiap saat. Muak!" ujarnya mengecam.

Damela memejamkan matanya saat bentakan itu kembali terdengar. Ia berusaha mendorong Devara untuk menjauh. Terjadi keheningan diantara mereka. Cowok dengan gengsi yang tinggi ini sebenarnya peduli dengan Damela yang terlihat pucat dan belum makan seharian. Namun Damela tidak bisa diajak dengan cara halus, harus dipaksa. "Kasi makan bayi gue, dia belum makan," ujar Devara sok cuek sambil menatap bagian perut Damela.

Damela mengangkat jari tengahnya kearah Devara lantas berjalan memasuki restorant. Devara tertawa kecil, wanita itu selalu saja seperti itu padanya. Ia mengikuti Damela dari belakang dan tetap mengekori wanita dan membiarkan Damela memilih tempat duduk yang ia suka.

"Kenapa lo ngikutin gue?!" bentak Damela.

"Bisa gak lo kalem kaya cewek pada umumnya?" Devara menarik lengan Damela untuk duduk di kursi sebelah mereka. Karena terkejut dengan tarikan itu, Damela hanya terdiam dan terkejut. Ia lantas meelotot melihat Devara yang santai duduk disebelahnya sambil mengunyah permen karet.

"Siapa ngizinin lo duduk disebelah gue?!" teriak Damela. Suara teriakannya bahkan membuat seisi restorant heboh. Devara segera membekap mulut cewek itu sambil tersenyum menahan malu.

"Banyak bacot lo! Diem sebelum gue pinjemin lakban!" bisik cowok itu.

Damela menghempaskan tangan Deva. Ia merasa jijik seakan tangan cowok itu penuh dengan kotoran. "Gak usah pegang pegang gue. Gue alergi dipegang sama lo!" ujarnya masih mengelap wajahnya.

Devara memandang datar kearah wanita disebelahnya ini. "Cewek stres!" gumamnya dengan pelan.

Baru saja akan memaki lagi, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Damela menahan celotehannya yang tertahan di dalam mulutnya. Ia menerima buku menu dan memesan makan dengan level pedas yang tinggi. Setelah mengucapkan itu, ia lantas tersenyum kearah pelayan.

DAMAREZ (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now