chimut07 : [Perpisahan]

1.3K 55 4
                                    

Song: Days by Lia

................................

imi no nai mama de jikan wa sugite
(Waktu berlalu tanpa alasan)
rikai shiyou to shite kidzuita
(Saat aku mencoba memahami hal itu,aku menyadari)
tooku hanareta waraigoe ga mou ,doko ni mo kikoenai
(Aku tak bisa lagi mendengar suara tawaan yang telah pergi jauh itu dimanapun)
namida ga ochiru
(Air mata pun berjatuhan)

"Waktu itu... terlalu cepat berlalu ya?" Gumamnya datar. Matamu tak lepas dari sebuah makam di depanmu dengan tatapan kosong. Cuaca lagi dingin-dinginnya saat itu. Karena memang saat itu baru mencapai awal musim dingin. Langit menurunkan kapas-kapasnya dengan lembut.

Aku hanya bisa menghela nafas disebelahnya. Waktu memang sungguh begitu cepat berlalu. Kita berdua sama-sama tahu, dan merasa belum puas dengan semua itu. Kita masih ingin terus bersama sedikit lebih lama lagi. Bercanda bersama, tertawa dan menangis bersama. Kita masih ingin menikmati semua itu sedikit lebih lama lagi.

"Kau tau... sejak kepergianmu, aku terus bermimpi tentang masa-masa bahagia kita. Namun sayangnya selalu berakhir pada kecelakaan itu. Terus berulang-ulang, tanpa bisa dicegah." Katanya dengan suara bergetar. Ia meletakkan sebuket bunga ke makam itu.

Sama.

"Aku rindu kamu. Kau tau?" Katanya berusaha menahan butiran kristal yang menggenang di pelupuk matanya, namun sepertinya gagal. "Tak ada lagi senyummu yang bisa kulihat, tak ada lagi tawamu yang khas itu, tak ada lagi kebaikanmu yang menyentuh hati ini. Waktu telah berhenti bagiku sejak kepergianmu." Katanya beruraikan air mata.

Bodoh...

"Kau bodoh. Tak seharusnya kau menangis kan?" Gumamku berat. Menatap nisan yang ditangisinya dengan perasaan tak menentu.

"Kau bilang waktumu terhenti, aku pun sama. Kau tak bisa lagi merasakan kebahagiaan, aku pun sama." Kataku tanpa menatapnya. Benar, tak ada lagi senyuman, canda, tawa itu. Yang tersisa hanyalah sepi, sedih, kehilangan dan air mata yang terus kami tahan sejak hari itu.

Sejak kami kehilangan satu sama lain. Sejak aku berkorban demi menyelamatkannya dan mempercepat kematianku sendiri.
.
.
"Kenapa?? Kenapa kau melindungiku??" Aku bisa melihat wajah syok bercampur kepanikan di wajahnya. Ia segera meletakkanku di pangkuannya. Membiarkan darahku mengotori baju putihnya.

Sementara aku, akibat sayatan dalam yang menyilang di tubuhku, membuat mataku mulai berkunang-kunang. Darah terus mengalir tanpa henti dari lukaku.Perlahan kurasakan kakiku mulai mendingin, nafasku mulai satu-satu.

"Karena... kau adalah adikku. Cuma kau yang kupunya di dunia ini." Kataku berusaha mengeluarkan isi hatiku yang terdalam. Menyentuh wajahnya dengan tangan berlumuran darah.

Aku tau dia menangis saat tanganku yang mulai dingin menyentuh pipinya, tapi pandanganku semakin mengabur dan mengabur.

Hingga akhirnya hitam sama sekali.

Dan jantungku pun tak lagi berdetak. Bersamaan dengan butiran kapas turun dari langit. Sebagai tanda awal musim dingin.
.
.
Haha... kejadian itu begitu cepat berlalu. Bahkan terlalu cepat. Namun naasnya, masa depan kami sepertinya tak lepas dari kesedihan itu. Waktu telah lama berhenti bagi kami berdua.

Aku mati, dia hidup.

Aku tak bisa lagi bersama manusia, dia tak ingin lagi berbaur dengan mereka.

Hatiku menjerit setiap melihat air matanya, Hatinya telah mati karena begitu kehilanganku

Yang ada hanya kesedihan.

"Hhh..." aku hanya bisa menghela nafas berat. Menatap manik mata coklat adik kecilku yang berkaca-kaca. Sudah cukup, kumohon jangan menangis lagi.

"Maafkan aku..." Kataku lirih. Aku menunduk, kembali menatap nisan di depanku. Tak sanggup lagi melihat penderitaan adikku.

Andaikan kami bisa bertemu untuk terakhir kalinya...

"Kakak?"

Aku terdiam. Apa aku salah dengar?

Aku menoleh, dan saat itu juga mata kami sempurna beradu.

Apakah ini kesempatan terakhir yang diberikan itu.

"Aloo..." Kataku hanya bisa bertingkah konyol. Bingung harus mengatakan apa pada satu-satunya keluargaku ini.

"Kakak..." Sepertinya tak hanya aku yang bingung dengan situasi ini. Adikku pun begitu. Melihatku sepertinya membuat air matanya semakin menjadi.

"Maafkan aku, Kak..." Katanya dengan suara tertahan.

Tanpa pikir panjang, tanganku terjulur ke wajahnya. Berharap bisa menyentuhnya dan menghapus air mata kesedihan itu.

"Jangan menangis. Kumohon..." Kurasa mungkin inilah kata-kata yang harus kukatakan kepadanya.

"Kakak..."

"Waktumu belum berhenti. Aku tak ingin pengorbananku menghancurkan masa depanmu." Kataku lirih. Perlahan kusadari tubuhku mulai mengabur. Mungkinkah adikku mulai bisa merelakanku?

Dia membisu menatapku. Sepintas sorot matanya masih menyimpan kesedihan. Sekaligus tak rela melepaskanku.

"Berjanjilah padaku. Dan relakan aku..." Tambahku berharap. Berharap agar adikku kembali menjalankan waktunya yang telah berhenti.

Perlahan sorot matanya meredup. Kemudian ia mengangguk pelan seraya menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Lalu seulas senyum yang seolah dipaksakan menghiasi wajahnya yang memerah. Sepertinya ia sedang berusaha memenuhi janjiku.

"Aku... janji" Katanya akhirnya.

Hening. Hanya ada suara angin yang menempa kami berdua. Sebenarnya masih banyak yang ingin kukatakan, dan aku juga yakin adikku pun begitu. Tapi kami tak punya waktu lagi. Aku pun memasang senyum terbaikku kepadanya. Senyum perpisahan.

"Selamat tinggal..." Kataku akhirnya.

Akhirnya aku pun meninggalkan adikku. Meskipun aku ragu dia akan kembali menjadi dirinya yang dulu, tapi aku berharap dia kembali ke kehidupannya dengan menyongsong masa depan dengan gagah berani.

•••

THE END.

SongFict : LostWhere stories live. Discover now