Dan mengapa pula mereka tidak berani melawan Kepulauan Selatan? Armada kapal yang mampu kerajaan kecil itu kerahkan memang secepat dan semematikan anak panah, tetapi jumlah mereka jauh lebih kecil daripada Lembah Raksasa. Tak peduli seberbakat apa, tidakkah sudah tertebak bahwa suatu hari mereka akan hancur karena kekurangan jumlah? Bagaimana bisa pelaut Lembah tidak sebaik pelaut Kepulauan, ketika Lembah memiliki lebih banyak perahu dan kapal, dan lebih banyak orang yang siap bertarung dalam peperangan? Itu adalah pemikiran para raja Lembah, yang sejarah katakan menjadi penggerak mereka untuk berkali-kali melawan Kepulauan. Namun, tak sekali pun mereka berhasil menang. Mereka bahkan tidak cukup dekat untuk mengepung Coraline. Hingga hari ini, tidak ada orang darat yang bisa menginjakkan kaki ke Kepulauan Selatan tanpa lebih dulu mendapat undangan.

Mark dengan enggan melepaskan diri dari kehangatan tubuh Donghyuck, menahan rasa gemas saat mendengar lenguhan kecil lelaki itu, suara yang muncul dari tenggorokannya bagai suara anak anjing yang kesal. Meski begitu, Mark tidak bisa menahan diri dan tersenyum, melihat tubuh Donghyuck yang meringkuk untuk mempertahankan kehangatan tubuhnya lebih lama.

"Kau mau ke mana?" gumam Donghyuck. Mark sejenak menatapnya, lalu menariknya bangkit. Donghyuck membiarkan tubuhnya tertarik.

"Ayo," ajak Mark. Suaranya yang bersemangat terdengar berat, efek baru bangun tidur. "Kita lihat matahari terbit."

"Kita melihat matahari terbit setiap hari," keluh Donghyuck dalam rengek acuh tak acuh yang berhasil membuat Mark mencubitnya.

"Kau menghabiskan sepanjang musim dingin untuk memuji warna fajar di lautan bagaikan itu hal paling berharga di dunia, dan sekarang kau menyalahkanku karena bersikap tidak sabar? Atau mungkin kau hanya pamer dan itu tidakㅡaw!"

"Berhenti bicara dan segera berpakaian. Kau sangat kekanakan, Yang Mulia."

"Untuk menyamai tingkahmu, Yang Mulia."

Donghyuck mendengus dan melempar celana ke arah Mark untuk membungkamnya. Mark menyembunyikan senyuman sambil mengenakan celana, lalu memasang sepatu bot dan mengenakan jaket untuk menutupi dada telanjangnya tanpa repot-repot dikancingkan. Udara terasa segar dan menusuk di lautan, cukup untuk membuat Donghyuck bersin begitu ia keluar dari kamar, sambil cemberut dan memerah. Namun, Mark adalah bocah gunung yang dulunya memakan salju, dengan es yang bergemeretak di giginya ketika ia tertawa. Angin dingin laut bagaikan udara sejuk baginya. Meski begitu, ia tetap berhenti untuk mengancingkan baju Donghyuck dan melingkarkan jubah wol ke pundaknya.

"Jangan sampai sakit." Ia memperingatkan. Sulit untuk menahan dorongan agar tidak mencium bibir cemberut Donghyuck. "Ayo. Ajak aku berkeliling, Pangeran Laut, sebelum aku disuruh kembali ke kamar."

Donghyuck menuntun Mark ke atas geladak. Tangannya terasa hangat dalam genggaman pemuda itu. Mereka tiba sedikit terlambat, dan fajar telah melebarkan sayap merah pucatnya di atas gulungan ombak. Permukaan air tampak begitu tenang seakan langit jatuh ke atasnya, menciptakan gambaran pemandangan kembar yang elok.

Itu pemandangan yang indah, bagai dunia roh dalam dongeng para dewa, terlingkupi oleh kepermaian yang anggun. Itu juga merupakan jebakan yang paling mengancam. Lagi pula, bukankah dunia roh ditinggali oleh jiwa-jiwa yang telah mati?

Di saat nyala cahaya matahari meninggalkan garis cakrawala, Gorgo of Shaer terbuka di depan kapal mereka bagai mulut yang kelaparan; sebuah lubang kegelapan di tengah lautan, cukup besar untuk menelan kapal mana saja. Cukup besar untuk menelan armada laut Lembah dalam percobaan pertama mereka melawan Kepulauan, berabad-abad silam.

Inilah sumber mimpi buruk dongeng anak-anak Lembah. Sebuah pusaran air yang marah, mulut lautan yang merupakan pintu menuju Antah-berantah, siap menelan anak-anak nakal bagai menelan para pelaut Lembah yang tidak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun. Sejenak, Mark merasakan ketakutan tidak masuk akal dan melumpuhkan, bahwa itulah yang akan terjadi pada kapal mereka saat ini. Di hadapan Gorgo, ia merasa putus asa dan tidak berharga, tak punya kekuatan sebagaimana kehidupannya yang dulu. Bagaimana bisa manusia biasa selamat dari ini? Dengan kekuatan macam apa?

[🔛] Semanis Madu dan Sesemerbak Bunga-Bunga LiarWhere stories live. Discover now