Cerita Kecil dari Sudut Kota

9 1 0
                                    

Mana yang lebih seram? Seorang pria dengan kumis tebal? Atau wanita hidung mancung dengan perangai galak layaknya penyihir tua? Sayangnya, dua manusia ini tak masuk dalam kriteria-kriteria tersebut. Si Tukang Patri suka sekali membuat cetak biru di sela-sela proyek, walaupun rencananya tak pernah terwujud.

Di sisi lain, Sang Koki Wanita selalu berhasil menciptakan resep-resep baru dari kejadian tak menentu. Mereka tidak cocok jika disandingkan, satu terus berencana, satunya lagi bertindak dulu baru meramu. Tapi takdir memiliki caranya sendiri, menyatukan perbedaan untuk menciptakan keistimewaan.

Timo... adalah anak spesial. Barangkali pepatah klise tentang jatuhnya buah dari pohon berlaku di sini, melahirkan seorang anak laki-laki perencana lagi beruntung. Orang tuanya selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Pekerjaan, hobi, pekerjaan lagi, seakan Timo belum pernah diajak piknik atau sekedar jalan-jalan sore.

Namun Si Anak memang memiliki kegemaran sendiri, berbeda dari teman sebayanya yang pergi ke kebun binatang semasa kecil, bersantai di taman menikmati teduhnya pohon kala terik siang hari, atau bermain lempar bola? Timo memilih tinggal di rumah, mengamati Sang Ayah menempa timah, kadang membantu Ibu menyiapkan makanan untuk para tamu restoran.

Bukannya tak mau, orang tua mereka pun heran mengapa Sang Anak memilih membaca buku-buku tebal tentang tata cara mesin uap bekerja, kadang tengah malam menghidupkan kompor, mempraktekkan gemulai lembut tangan Sang Ibu memainkan spatula. Semula, orang tua Timo merasa aneh, hingga sengaja mengajaknya bepergian menaiki mobil uap ke bukit hijau tak jauh dari rumah. Tetap saja, si kecil Timo pada waktu itu sudah mulai belajar membaca, menyembunyikan buku Sang Ayah di dalam tas tamasya. Lambat laun Ayah dan Ibunya menyerah, mereka hanya bisa berterima kasih telah dikaruniai anak sehat, lucu nan menggemaskan.

Suatu ketika di kala pagi, Sang Ayah sedang berada di bengkel. Seperti biasa, Timo menemaninya bekerja. Pintu bengkel pun terbuka saat seorang pria tua pemilik toko hewan sebelah rumah, mengajak cucu kecilnya berkunjung. Warga sering menyebutnya Paman Mamba, karena kegemarannya memelihara ular berbisa. "Bagaimana Shu? Kau bisa mematri batu ini di cincin?" Ucap Sang Pria Tua sambil menunjukkan batu berkilau sebesar jempol Ayah Timo.

"Eh... besok pagi mungkin, kutitipkan saat Imani mengantar sup." Ujar Sang Ayah sambil mengecek setiap sudut batu tersebut. Mereka sedang berbincang, ketika Ava si cucu perempuan Paman Mamba yang memakai gaun dan sepatu bunga merah muda, mencuri pandang ke Timo. Menyaksikan momen itu, Sang Ayah menyuruhnya masuk agar bermain bersama.

"Tak apa jika kakek tinggal?" Tanya Paman Mamba. Ava hanya mengangguk pelan dengan mata bulatnya melirik ke atas. Akhirnya setelah percakapan panjang perihal batu, Sang Pria Tua berpamitan meninggalkan Sang Cucu di rumah Timo.

Layaknya anak-anak seusianya, Timo dan Ava langsung akrab meskipun Si Anak Perempuan tak banyak bicara, mungkin masih malu karena baru bertemu. Awalnya bermain mainan buatan Sang Ayah, kereta-keretaan, sepeda, mobil, dan hewan-hewan dari logam. Ava takjub melihat mainan-mainan buatan Pak Shu, ibarat memiliki nyawa, benda-benda kecil itu dapat bergerak sendiri. Menggunakan baterai tentu saja, namun imajinasi anak-anak selalu kagum akan hal sekecil apapun.

Sudah waktunya Sang Ayah berhenti bekerja, saat bel tanda istirahat siang berbunyi dari restoran dalam rumah. Orang-orang menyapa Timo dan Ayahnya, wajah-wajah akrab selalu datang silih berganti saat waktu makan tiba.

Kesibukan meja makan menyisakan suasana sepi di bengkel, rasa penasaran Timo menariknya ke batu berkilau milik Paman Mamba. "Ava... apa kau mau melihatnya dari dekat?" Ucap Si Anak Laki-laki. Anggukan lugu Ava seakan mengiyakan ajakan Timo untuk sekedar memegang, bahkan memasangnya di cincin.

Berkat pengamatan dan praktek diam-diam, tanpa kesusahan Timo berhasil melakukannya. Sangat cantik dan cocok menempel di cincin perak. Kedua anak-anak itu terdiam beberapa saat, sebelum salah satu dari mereka mengusulkan untuk mencoba memakainya, siapa lagi kalau bukan anak laki-laki Pak Shu.

Kilasan FantasiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora