Kotak Perkakas Lumin

16 2 0
                                    

Kegaduhan kapal-kapal besar yang berlabuh seakan bersahut-sahutan dengan bising suara bengkel di sebuah kota kecil. Tepat di atas bukit, berjajar damai dengan rerumputan hijau yang berayun, 'Toko Perkakas Pak Jackson' terlihat sangat unik dari bangunan lain di kiri dan kanannya.

Hari itu sangat cerah dan damai, satu-dua orang hilir mudik melewati toko Pak Jackson. Sesekali terdengar deru mobil dengan cat warna-warni menambah kecerahan pagi hari. Seorang pria memakai jas putih dan topi panjang terlihat berjalan memasuki toko.

"Selamat pagi Pak Richard! Sepuluh euro untuk pesananmu. Ambil di tempat biasa sesuai tanda ya." Sebuah suara lantang terdengar dari balik meja kasir, sesaat setelah lonceng pintu toko berbunyi. Sang pria berjas putih tersenyum, berbincang sembari mendekat ke pria gendut penjaga kasir. Berbeda dengan sang tamu yang rapi dicukur, wajah pria itu diselimuti rambut berantakan warna merah, brewoknya seakan menutupi mulut yang sedang berbicara.

Si kasir menyodorkan wadah kotak besar, satu-satunya tamu toko di pagi itu mengambil beberapa gir, lonceng, pipa perunggu, dan sebuah alat dari besi berbentuk unik. Ia pun pamit setelah membayar, memasukkan barang pembeliannya ke tas tenun yang disodorkan oleh si kasir, lalu berjalan meninggalkan toko.

"Lumin!" teriakan si pria brewok terdengar hingga luar toko. Kegaduhan dari bengkel seketika berhenti. Langkah kaki tergesa-gesa menggema di dinding. "Ya Pak Jackson? Ada yang bisa kubantu?" tanya seorang pria muda yang baru saja membuka pintu di balik meja kasir.

Rambut keriting, pipi kanan dan kiri penuh bintik, dengan rambut merah menyalanya, terlihat seperti pria gendut yang dipanggil Jackson saat muda, namun tanpa brewok tentu saja.

"Kau antar ini ke nyonya Mary di pelabuhan, beliau ingin segera memperbaiki kompornya."

"Siap pak, lalu bagaimana dengan bengkel?"

"Istirahatlah sejenak, lagipula kau sudah mulai dari pagi sekali."

"Baik Pak Jackson, akan segera kulaksanakan!"

Raut muka Lumin menandakan dirinya senang mendengar nama Nyonya Mary. Bagaimana tidak, setiap kali ia mengunjungi atau melewati depan restorannya, si nyonya tua itu selalu memberikan makanan gratis. Entah menu spesial hari itu atau resep-resep baru yang ia coba terapkan untuk restoran miliknya.

Bergegas mencopot baju terusan yang ia kenakan sehari-hari untuk membuat peralatan di toko Pak Jackson, Lumin pergi menenteng sebuah tas perkakas kecil berwarna merah andalannya. Sedikit berlari, ia tersenyum sesekali sambil melambaikan tangan ke orang-orang yang menyapa. Tak dapat dipungkiri bahwa di kota kecil ini, setiap orang mengenal satu sama lain, dengan rumah yang berdekat-dekatan, warna serta bentuk lucu era victoria, dan cerobong-cerobong asap yang terus mengepul.

Suara kapal pesiar mengambang di lautan biru cerah menandakan bahwa Lumin sudah dekat dengan restoran Nyonya Mary. 'Portside Porridge', sebuah tulisan terpahat di gantungan kayu melambai-lambai tertiup angin, tepat di depan bangunan berwarna putih, rimbun diselimuti tumbuhan rambat dan pot tanaman.

Gemerincing lonceng berkali-kali terdengar dari pintu Portside Porridge. Orang-orang keluar masuk, terlihat para pegawai pelabuhan dan beberapa pria mengenakan topi flat cap, kemeja warna-warni, jas katun, ditemani wanita-wanita bergaun cantik. Lumin pun mencoba berdesak di sela-sela kerumunan yang tak sabar ingin masuk.

Akhirnya, aroma masakan wangi dibumbui rempah eksotik merasuk ke hidung Lumin. Aksen kayu kental terlihat menghiasi interior restoran Nyonya Mary, penuh dengan tamu yang sedang menikmati masakan andalan Portside Porridge. "Sini-sini, kau pasti belum sarapan kan? Makan dulu di belakang bersama Jane." Suara lembut keibuan Nyonya Mary menyambut datangnya Lumin yang sedikit terengah, hasil jogging dari bengkel ke pelabuhan.

Kilasan FantasiWhere stories live. Discover now