Bab 4 Perpisahan

105 11 0
                                    

Pagi hari ini Ane bangun sangat pagi, sudah beberapa hari sejak menikah dirinya tidur di kasur lipat dan pagi hari sudah bangun di atas ranjangnya semua pasti ulah Demian apa yang membuat pria itu begitu rajin tiap hari memindahkannya dan tiap hari itu juga Ane tidak pernah sadar. Pemandangan pagi ini sama seperti kemarin Demian ada di dapur bersama ibu, Demian begitu pandai mengambil hati ibu. Aku lihat bapak tengah duduk seorang diri di halaman menatap tumbuhan hijau dan beberapa bunga yang di rawat oleh ibu.

"Bapak lagi apa sendirian?"

"Lihat embun di daun-daun yang menetes di tanaman yang ibu mu tanam, kelihatan subur jadi sejuk di pandang"

"Iya kaya Ane yang selalu sejuk mandangin bapak"

"Bisa aja kamu, gimana kamu sama Demian?"

"Biasa aja pak, aku belum terbiasa dan gatau harus bagaimana"

"Pelan-pelan nanti terbiasa, Demian anak yang baik"

"Bapak yakin aku sama dia baik-baik aja?"

"Kalau Demian gak baik, bapak ga akan izinin milik bapak yang berharga untuk dia miliki, Demian dari usia belasan tahun sudah yatim piatu dan sudah mandiri untuk hidupnya walau keluarganya kaya raya dia tetap berjuang untuk S2- nya, Demian selalu bilang menemukan sosok orang tua di ibu dan bapak, padahal gak banyak mahasiswa yang bisa dekat dengan bapak, bapak terkenal galak di kampus. Bapak fikir setelah selesao S2 Demian akan lupa sama bapak nyatanya dia tetap kembali menemui bapak"

"Aku rasanya tetap mau jadi putri kecil bapak, gak mau dewasa" Ane memeluk sang ayah

"Kamu pasti tumbuh jadi dewasa, gak mungkin jadi anak kecil terus. Sekarang Ane seorang istri, manjanya udah gak bisa sama bapak"

Bapak mengusap lembut rambut putrinya yang ada di pelukannya, dalam diam Ane terisak di pelukan bapak.

"Kamu tuh selalu manja sama bapak, tapi bapak lega sudah melepaskan kamu pada orang yang tepat. Makasih ya sudah mewujudkan cita-cita bapak, melihat kamu menikah dan dengan orang yang tepat. Jika bapak gak ada umur bapak sudah lega satu impian bapak sudah terwujud"

Ane menangis setiap kali bapak terus membahas tentang kematian, namun usapan lembut itu mulai melemah, Ane terus memeluk ayahnya sangat erat dan menghiraukan segaka fikiran negatif.

"Bapak jangan bicara begitu, besok bapak mau di operasi-kan, setelah itu sehat lagi"

Bapak tidak merespon bahkan telinga Ane yang terus menempel di dada bapak tidak mendengar suara detak jantung bapak. Ane memberanikan diri melihat wajah bapak, wajah ayahnya pucat dan sudah dingin, Ane menangis dan berteriak histeris sejadi-jadi-nya dan terus memanggil nama ayahnya.

Demian dan ibu datang menghampiri Ane, mas Rio kakak sepupu ku yang rumahnya di depan rumahku, yang merupakan seorang dokter datang menghampiri teras kami karena mendengar suara teriak ku mengecek kondisi bapak, Demian sempat mengecek nadi bapak sebelum mas Rio datang dan tidak menemukan tanda nadi nya, namun dugaan Demian dengan pernyataan mas Rio sama. Mas Rio mengatakan bapak sudah tidak ada.

Ane merasa seperti tidak memiliki tulang tubuhnya lunglai, ini bagai petir di siang bolong, tubuh Ane hampir ambruk namun Demian menahan tubuh Ane dan menguatkan Ane yang masih histeris, sedang ibu terus memeluk tubuh belahan jiwanya.

"Pak bangun, bapak bilang sama Ane ini gak bener, bapak besok mau di operasi kenapa bapak gak bisa tunggu sampai besok, pak Ane udah wujutin mimpi bapak kenapa gini, Ane gak bisa hidup tanpa bapak, Ane mohon bangun pak"

Ane terus berusaha bicara dengan tubuh bapak yang ta bernyawa itu, tidak ada respon, membuat Ane semakin merasa pilu, Demian menarik Ane pada pelukannya, Demian tahu Ane sangat terpukul dirinya pun terpukul dan kehilangan sesosok ayah untuk ke dua kalinya.

Ruang Rasa By Suarasenja_sj (End!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang