20 - The Gun in the Veil

9 1 0
                                    

"Pemuda Avian bersayap dan berambut putih?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Pemuda Avian bersayap dan berambut putih?"

Pedagang kaki lima itu mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang dan mengusap janggut beberapa kali. Dari bentuk tanduk di kepala dan warna rambut serta janggutnya, sepertinya dia demi human suku sapi hereford.

"Rasanya aku tidak lihat yang seperti itu. Kalau yang bersayap hitam aku lihat ... walau aku tak tahu dia lelaki atau bukan."

"Seperti aku?" tanya Helios.

"Bukaaan!" sergahnya sambil melambaikan tangan. "Telingamu memang berwarna sama, tapi kalau kau sih, cuma besar sajaaa ... tidak ada indah-indahnya. Avian yang kulihat itu jangkung, walau tidak setinggi dirimu, langsing semampai. Kulitnya berwarna madu, wajahnya cantik, gerakannya anggun, pokoknya ...." Pedagang itu mengecap lidah lalu memberi gesture chef's kiss dengan jari-jarinya.

"Berarti bukan Lunos," komentar Helios tak acuh. Adik kembarnya mungkin bisa dibilang berwajah manis, tetapi anggun sama sekali tak cocok jadi deskripsi pemuda itu. "Terimakasih," tambahnya sebelum berlalu.

Sejak berpisah dengan Lunos beberapa hari yang lalu, Helios menanyai tak hanya pedagang kaki lima. Hampir semua penjaga keamanan yang melintas, juga pegawai Guild dia sapa untuk mencari tahu keberadaan adik kembarnya. Kebanyakan dari mereka tak memiliki jawaban yang dia inginkan, padahal dia yakin betul di kota itu hanya ada 3 orang Avian, termasuk dirinya.

Setelah berkeliling cukup lama, Helios pun merasakan perhatian yang tak diinginkan mulai tertuju padanya. Bahkan setelah mengenakan tudung jubah untuk menutupi bentuk telinga sayapnya, beberapa pasang mata masih mengawasi dari jarak aman. Puncaknya, ketika dia melintasi gang yang sepi.

Beberapa orang menghadang. Mereka semua terlihat seperti Huma, tetapi dengan pakaian serba hitam dan jubah yang menutupi hingga lutut, sulit dilihat apakah ada tambahan ekor atau ciri non-huma atau tidaknya. Ketika Helios memutuskan untuk berbalik karena tak mau repot-repot berurusan dengan preman lokal, ternyata jalan kembalinya pun tertutup oleh beberapa orang yang lain.

"Hei! Apa maumu cari-cari Avian di kota?!" hardik salah seorang dari mereka.

"Siapa yang memberimu perintah dan untuk alasan apa?!" seru yang lain, tak kalah galaknya.

"Awas saja kalau sampai kau suruhan para huma pedagang budak!"

Mereka sangat waspada. Bahkan ketika Helios hanya menggerakkan lengan untuk meraih tudungnya sendiri, beberapa dari mereka langsung menghunuskan senjata masing-masing. Pemuda Avian itu harus bergerak lebih hati-hati untuk tidak memberi alasan menyerang pada orang-orang yang mengepungnya.

"Aku hanya mencari keluargaku." Helios menjawab sambil melepas tudung, untuk memperlihatkan telinga sayapnya sendiri. Membuat para pengepungnya terperangah.

"Dia ... Ternyata Avian juga ... sayap telinga hitam, seperti Bos!"

"Huh, yang semacam itu tak bisa jadi bukti ... Asal pandai membuat tiruannya, aku pun bisa punya telinga seperti itu."

Helios bergeming atas tuduhan mereka, tetapi telinga sayapnya mengepak-ngepak tajam seperti ketika ayam jago mengancam lawan bertarung. Sepertinya kesal karena merasa diragukan.

"Telinga tiruanmu bisa bergerak seperti itu?" bisik rekannya.

"Uhh ... Tidak, sih. Hanya bisa membuka dan menutup pelan saja."

Mereka berpandang-pandangan, ragu. Sosok Helios, terbukti sangat Avian, tetapi mereka tak bisa begitu saja mempercayai orang yang terlihat tak ramah dan sepertinya sanggup melukai mereka bila perlu.

"Jadi, apa keluargaku ada pada kalian atau tidak?" Helios akhirnya bertanya, karena pengepungnya malah diam. "Cepat jawab!" hardiknya, seraya melepaskan hawa panas yang membuat sekelilingnya merasa seperti berhadapan dengan api unggun raksasa, minus cahayanya.

"Ka-kami memang mengawasi semua demi human yang baru masuk ke kota, apalagi Avian." Akhirnya salah seorang dari pengepungnya kembali bicara. "Tapi tak seorang pun dari mereka memiliki telinga sayap putih, seperti yang kau cari."

"OMONG KOSONG!" sergah Helios, menggelegar. Matanya berkilau keemasan terbakar amarah. "Lunos masuk kota ini bersama denganku ... Kecuali kalian terlalu buta untuk melihat!" Embusan angin panas yang dilepaskannya sampai membuat jubah berat yang dia kenakan terangkat dan berkibar mengancam.

Sekeliling Avian besar itu mulai menciut. Beberapa bahkan melangkah mundur atau mencari benda apa saja untuk berlindung dari terjangan angin panas yang diembuskan oleh kemurkaan Helios.

"Tenanglah, Tuan ... Jangan memancing keributan lebih dari ini!"

Suara yang baru saja berbicara terdengar dingin dan tenang. Tidak terlalu kencang, tetapi cukup jelas. Seperti air sejuk yang membasahi kerongkongan di siang yang panas.

Bahkan Helios pun meredakan terpaan hawa panasnya begitu sosok pemilik suara itu muncul, menyeruak di antara para pengepung. Seketika deskripsi si pedagang kaki lima yang sebelumnya terasa berlebihan, kembali terulang dalam ingatan. Avian muda, jangkung semampai, dengan wajah cantik dan gerak-gerik yang anggun.

Helios tak sadar si cantik itu sudah sangat dekat dengannya, tiba-tiba saja dia merasakan kejutan beberapa kali di perut. Lalu dunia terasa berputar. Ketika pipinya beradu dengan jalan batu, samar-samar terdengar suara sejuk yang sama.

"Tiga tembakan peluru bius dan dia belum pingsan juga ... Dia ini burung atau badak?"

Bagaimana kata-kata kejam itu bisa terucap oleh suara sejuk yang sama, Helios tak mengerti. Namun dia juga sudah kehilangan kekuatan untuk sekadar mengangkat kepala.

Satu kejutan lagi terasa di punggungnya. Lalu kesadarannya pun terbang.

Sky VentureWhere stories live. Discover now