01 - Hangus

33 8 2
                                    


Hari ini ketika Eurus terbangun, dia melihat sosok tak dikenal berdiri di ujung tempat tidur. Pemuda itu perlu mengerjapkan mata beberapa kali hingga pandangan mata emasnya dapat menangkap dengan baik wujud perempuan bertudung gelap. Pakaiannya pun asing, gaun yang sewarna dengan tudung yang dikenakan, dengan celemek putih lebar.

Naluri Eurus menyuruh untuk melompat, tetapi pedih dan nyeri di sekujur tubuh menghalangi. Tangannya terbalut perban, menggapai tak bertenaga. Kakinya tak lebih baik, hanya mampu menendang selimut usang yang menggantikan fungsi celana.. Sepasang sayap mungil di kedua sisi kepalanya mengepak lemah. Frustrasi.

"Tenanglah!" seru perempuan tak dikenal itu. Suaranya tegas dan lantang. "Luka-lukamu cukup parah. Bergerak seperti itu hanya akan memperburuk kondisimu!"

Walau merasakan bagai tertusuk-tusuk setiap kali bergerak, Eurus terus menepis semua usaha perempuan bertudung gelap untuk menyentuh. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan perempuan itu dengan kain berbau tajam di tangannya. Bukan bau tanaman yang dia kenal.

Mata emas Eurus bergerak liar, menggali informasi sebanyak mungkin yang bisa dia dapat tanpa banyak menggerakkan kepala. Dia ada dalam ruangan berdinding batu dengan langit-langit tinggi tanpa plafon. Selain ranjang tempat dia berbaring, hanya ada satu meja. Sekelilingnya tertutup tirai, tetapi dia masih dapat mendengar suara ramai anak-anak, dari lorong maupun di luar sana.

"Suster, apa kakak bersayap itu sudah bangun?"

Kecuali Eurus salah lihat, anak yang baru saja mengintip dari balik tirai, memiliki sepasang telinga kelinci. Lembut, empuk, dan menjuntai. Mungkin beberapa tahun lebih muda dari dirinya, tetapi pemuda itu tak pernah bertemu dengan kaum kelinci jadi dia tak tahu rentang usia mereka.

"Aku bawa airnya," tambah anak itu lagi. Berjalan malu-malu dengan memeluk guci. Ada suara deguk berat dari dalam guci setiap kali anak itu melangkah.

"Trims. Simpan saja di meja, tapi jangan terlalu dekat dengannya. Nanti kau digigit."

Pemuda itu mengernyit tak senang. Kelinci panggang memang enak, tetapi dia dan sukunya tak sebarbar itu hingga bisa memangsa sesama demi-human.

"Kukira burung tak punya gigi?" komentar anak kelinci itu sambil tergelak.

"Kau tak pernah lihat paruh angsa?"

Bagus. Kini dirinya disamakan dengan preman-preman tak tahu adat yang tak pernah bisa diajak bicara dengan damai itu. Hanya gara-gara sayap mereka sama-sama berwarna putih.

Eurus mencoba menyangkal kata-kata dua orang yang kini asyik membicarakan kelakuan para angsa, tetapi hanya desis tanpa suara yang bisa keluar dari mulutnya. Kebingungan, dia kembali mencoba berkata-kata, tetap tanpa hasil. Usahanya untuk bersuara dengan mengembuskan napas kuat-kuat hanya membuatnya terbatuk.

"Sudah kuduga, tenggorokanmu belum pulih benar," desah suster itu sembari mengeluarkan papan dada dan sebatang pensil untuk menuliskan sesuatu di kertas yang terjepit di situ. "Sepertinya asap dan udara panas merusak suaramu, jadi jangan memaksakan diri untuk bicara."

"Kau tidak ingat?"

Eurus tidak menggeleng atau mengangguk pada pertanyaan suster itu. Pandangannya tertuju pada bekas luka bakar yang menyembul di sela-sela balutan perban di lengan dan kakinya. Perlahan ingatannya kembali pada jilatan lidah api yang berkobar, asap hitam, lalu jeritan orang-orang.

"Suster?" bisik anak bertelinga kelinci, menarik-narik celemek perempuan itu untuk mengalihkan perhatiannya dari papan. "Kenapa dia?"

"Hei?" panggil suster itu, nadanya cemas. "HEI, JANGAN LAKUKAN ITU!"

Suaranya panik. Papan dada di tangan terlepas dan terbanting di lantai ketika perempuan itu menghambur ke arah Eurus. Anak bertelinga kelinci hanya bisa mematung, mencoba melindungi dirinya dari pemandangan tak menyenangkan dengan selembar tirai.

"PANGGILKAN DOKTER!!!"


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sky VentureWhere stories live. Discover now