06 - Langit yang Sunyi

16 4 0
                                    


Eurus baru saja menyelesaikan latihan fisiknya malam itu. Peluh masih membasahi rambut putih cerah, lengket ke kepala. Luka-luka lebam, lecet dan lumpur menghiasi pipi dan berbagai tempat di tubuhnya. Nyeri dan pegal membuat langkahnya agak terseret. Pedang latihan dibiarkan tersampir di bahu tanpa sarung. Dia terlalu lelah untuk mencari ke mana sarungnya pergi setelah berguling-guling menghindari jebakan yang sengaja dipasang oleh para tetua sebagai latihan fisiknya.

Sayup-sayup dia mendengar suara desisan di antara gesekan sandal dengan tangga batu yang dia lalui. Awalnya tak dia pedulikan, dianggap tak lebih dari nyanyian angin malam dan dedaunan. Namun makin lama desisan itu berubah jadi bisikan tak jelas. Eurus menghentikan langkah. Sayap telinganya terangkat sebelah, mencoba mencari asal suara.

Sembari terus berkonsentrasi, dia mengikuti arah bisikan. Hingga bisikan-bisikan tak jelas tadi berubah menjadi sebaris pertanyaan yang menggema dalam benaknya.

"Apa yang kau inginkan?"

Dia adalah putra tunggal kepala suku terdahulu. Segala diplomasi dan urusan dengan kaum luar sana akan menjadi tanggung jawabnya. Begitu juga dengan konflik antar anggota suku, wajib diketahui dan dia carikan jalan keluar. Bila jalan damai sudah tak memungkinkan, kepala suku yang harus maju menjadi perwakilan, mengangkat senjata di barisan terdepan.

Segala tetek-bengek yang harus dihapal mengenai sejarah, upacara, dan adat suku, harus dikuasai. Tak boleh ada mantra dan doa dalam ritual resmi yang terucap tanpa sepersetujuan kepala suku, karena itu bahasa dan tulisan kuno wajib dipahami. Lagu dan puisi dari para leluhur, beserta makna-makna tersurat dan tersirat.

Asal tekun berusaha, dan menjalani jadwal padat dari para tetua, perlahan Eurus mulai menguasai semuanya. Memang tak mudah, malah dia lebih sering marah bahkan menangis karena tertekan dan frustrasi akan berbagai kegagalan yang dialami. Namun pemuda itu tak merasa keberatan karena hanya itu jalan hidup yang dia tahu.

Sekali. Hanya satu kali saja dia merasa muak. Ketika upacara kedewasaannya sudah sangat dekat, para tetua tak juga memberikan restu untuk menyandang tombak kebesaran warisan ayahnya. Pandangan mata yang terasa menghakimi setiap kali dia jatuh terpuruk, terasa lebih menusuk dari biasanya. Bahkan kata-kata penghiburan dari sepupunya, malah terdengar bagai ejekan di telinga.

Di tengah rasa letih dan terpuruk, mendengar pertanyaan demikan, satu kalimat itu terucap lirih,

"Andai suku ini tak ada, aku tak perlu susah-payah menjalani ini semua."

Seketika, langit di hadapannya robek, memperlihatkan lubang tak berdasar. Sebelum dia sempat bereaksi, sulur-sulur gelap berlomba melilit tubuhnya dan menarik Eurus masuk.

Setelah gelap dan kesunyian yang memekakkan telinga, cahaya menyilaukan memaksa Eurus memejamkan mata. Ketika membuka mata, dia sudah berada di tempat terang dan bising. Dengung dan desis samar silih berganti dari berbagai arah. Bangunan-bangunan berbentuk aneh menjulang. Kakinya menginjak tanah yang mulus dan padat, seperti batu pualam tetapi empuk dan tidak licin.

Tembok-tembok tebal, entah terbuat dari apa. Kokoh dengan suara tebal dan berat ketika pangkal pedangnya diketukkan. Tak ada luka maupun dekok walau Eurus sudah menghantam dengan sedikit kencang. Pintu kaca yang terbuka sendiri ketika kakinya mendekat. Tak ada aroma busuk, hanya harum dan wangi aroma asing yang memenuhi penciumannya.

Raungan bagai lolongan hewan sihir membahana, memaksanya mendongak untuk melihat burung besi melintasi langit biru kelabu suram. Penasaran membuat Eurus mengejar burung besi itu. Ketika jalan daratnya sudah habis, dia memanjat struktur kokoh terdekat. Pegalnya nyaris terlupakan. Terus hingga akhirnya mencapai atap bangunan.

Angin liar dan kencang membuat mata dan telinganya tak berfungsi untuk sesaat. Ketika dia sudah bisa menyesuaikan diri, yang terbentang di sekelilingnya adalah pemandangan menakjubkan kota yang ternyata seragam. Ada berbagai variasi, tetapi desain utamanya tetap satu. Benda-benda terbang asing yang lebih kecil dari burung besi, meluncur ke berbagai arah dengan keteraturan yang aneh.

Di luar berbagai kejanggalan itu, dia menyadari satu hal yang paling janggal. Langit memang dipenuhi benda-benda asing yang berseliweran, beraneka warna, tetapi di matanya malah terlihat sepi. Steril.

Rasa janggal perlahan berubah menjadi ketidaknyamanan yang menggerogoti benaknya.

"Hei," sapa seseorang di belakang sana.

Eurus menoleh dengan enggan.

"Siapa kau?" tanya orang itu lagi.

Membuat Eurus tanpa sadar mengepakkan telinga sayapnya, dengan gelisah. Orang yang menyapa berwujud seperti Huma, tetapi Eurus tak bisa melihat wajahnya dengan baik.

"Benda apa di telingamu itu?"

Eurus meraih sayap telinganya. Mengernyit tak senang, karena para Huma selalu tertarik berlebihan pada sayap telinga para Avian. Menurut mereka telinga rasnya Eurus itu unik, menarik, aneh, tak wajar, dan berbagai sebutan lainnya.

"Sayap," jawabnya setelah sang penanya bersikeras.

"Masak sayap seperti itu?" orang itu kembali bertanya, seperti tak percaya.

"Ya, memang begini ... Seperti yang ada pada burung," tambah Eurus dengan nada mencemooh.

"Burung itu apa?" tanya Huma itu, makin terdengar bodoh di telinganya.

Eurus melirik jengkel, tetapi kemudian benaknya kembali terusik pada perasaan janggal yang sedari tadi dia alami. Langit yang steril itu, karena tak ada serangga dan burung. Dia kembali melihat sekeliling, ada warna hijau tetapi tak ada tumbuhan juga.

"Hei," panggil Huma itu lagi. "Burung itu apa?"

Wajahnya tak bisa dikenali oleh Eurus, tetapi ekspresinya terlihat serius. Dia dan makhluk yang mirip dengan mereka, tak ada di dunia itu. Mereka tak pernah ada.

Rasa ngeri menyergap. Tanpa pikir panjang pemuda itu merentangkan sayap cokelat, lebar dan panjang dari punggungnya. Dia ingin secepatnya melarikan diri dari situ.

Sekali entakan kaki, Eurus terbang.

"Astaga, apa itu?!" seru Huma yang lain, tak seberapa jauh dari tempat mereka berdiri. Terdengar sangat terkejut.

"Seperti sayap pesawat, tapi bentuknya menjijikkan ... Ada banyak bilah-bilah organik!" seru yang lain lagi.

"Tak mungkin ada yang seperti itu di sini."

"Pasti hanya ilusi!"

Seperti terdorong oleh jeritan-jeritan penyangkalan para Huma itu, langit kembali robek. Sulur-sulur biru kelabu suram melilit dan menangkap sayap-sayap Eurus. Menariknya paksa untuk keluar dari dimensi itu. Melenyapkan kehadirannya.

Bahkan suara jerit pemuda itu senyap.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sky VentureWhere stories live. Discover now