19 - Dunia Cermin

15 2 0
                                    

"Tidak boleh," tegas Helios. Suara tidak terlalu kencang, tetapi postur besar dan wajah kerasnya membuat kata-kata Avian muda itu memberikan efek lebih berat. Warna rambut dan telinga sayapnya yang diubah menjadi gelap, nyaris hitam, makin menambah angker penampilan.

Lunos pemuda yang menetas beberapa detik setelah dia, menunjukkan ekspresi sangat tak senang. Tertutup rambut depan yang putih, tetapi terlihat bahwa alis tipisnya bertaut. Wajahnya merah padam karena emosi.

"Ini tak boleh ... Itu tak boleh," dia mulai berkata dengan bibir bergetar. "Mentang-mentang sedikit lebih tua, kau selalu ambil kendali dan main perintah. Aku juga sesekali ingin bisa melakukan sesuatu!"

"Lunos?"

"SUDAH CUKUP, AKU MUAK!" seru adik kembar Helios, sayap telinganya sampai mekar, terbuka lebar dan mengepak tajam.

Terkejut dengan letupan emosi itu membuat Helios terdiam. Sebelum sempat mengatakan sesuatu lagi, adiknya keburu berlari pergi. Meninggalkan dirinya di tengah keramaian pasar.

Dia lanjut melangkahkan kaki, lebih lambat dari biasanya. Pandangannya tak terarah, seperti kehilangan tujuan. Kota terlihat berbeda saat dirinya sendirian.

Sayup-sayup telinga sayapnya menangkap melodi flute dan harpa. Lalu tawa dan senda-gurau dari balik tembok-tembok bangunan kota. Berbagai penerangan buatan, baik dari api maupun sihir, membuat sekelilingnya tetap terang walau rembulan sudah bertengger indah di angkasa.

Menyilaukan.

Menjengkelkan.

Memusingkan.

Ketika sadar, Helios duduk di ujung sebuah meja panjang. Detak lembut jam meja menunjukkan waktu masih belum lama berjalan. Poci dan cangkir teh porselen indah yang tak pernah dia lihat memanjakan penglihatan. Manis dan gurih ditata dengan cantik di piring-piring mungil, disusun rapi di rak bertingkat, aneka kudapan. Bunga-bunga berwarna biru, nila, lembayung, dan toska, ikut menambah semarak pemandangan.

Dia mengerjap perlahan, mencoba mengingat-ingat bagaimana bisa sampai di situ karena mustahil seseorang bisa membawanya tanpa perlawanan. Denting melodi terus mengalun, sementara telinganya menangkap merdu suara nyanyian.

Sebuah buku terbuka terhampar di hadapannya. Helios mengernyit, huruf-huruf yang terlukis indah di setiap lembar halaman buku semua tak terbaca. Hingga akhirnya pemuda itu menyadari keberadaan cermin yang tergeletak di sebelah lengannya.

Melalui bayangan cermin, kata per kata dari tulisan-tulisan indah itu mulai terbaca. Kata-kata puisi membentuk dongeng menarik tentang petualangan seorang gadis yang menyeberang ke dunia seberang sana. Helios belum pernah tenggelam sedalam itu dalam bacaan sebelumnya.

Dari setiap bacaan, terbayang dengan jelas bunyi gemerisik daun-daun dan rumput kering di setiap pijakan. Desir angin membelai ranting dan dedaunan. Aroma segar hutan.

Seseorang dengan telinga kelinci putih menghadang jalannya. Sosok yang sepertinya dia kenali, tetapi sekeras apapun Helios berusaha, pemuda itu tetap tidak bisa mengingat siapa. Hanya bisa melihat pakaiannya yang putih bersih dilambaikan angin dan mendengar detak jarum jam raksasa yang dia bawa.

Tanpa bicara, tangan si Kelinci Putih terulur menunjukkan arah yang harus dituju. Tak banyak pertimbangan, bahkan mungkin tak berpikir sama sekali, pemuda itu menurut dan melangkahkan kaki ke situ. Hanya untuk melihat adanya tulisan peringatan terpampang di papan kayu.

Helios bermaksud untuk mundur, tetapi ekor matanya menangkap sosok kedua. Berdiri diam, dengan senyum lebar dan kilau tajam dari pandangan matanya.

"Lunos?" gumamnya ragu. "Sedang apa di situ?"

Sky VentureWhere stories live. Discover now