32

42 5 14
                                    

Sepanjang 2018, tahun kelulusan

Tahun ini menjadi tahun yang cukup panjang bagi Kara, bulan keempat diawal tahun menjadi tahun terbaiknya. Dia lulus dengan nilai yang sangat baik, menjadi wakil daerah untuk lomba ke nasional dan menerima panggilan pekerjaan yang cukup layak.

Kalau kalian pikir Kara akan menerima semua panggilan kerjaan untuknya, nampaknya kalian salah. Bahkan salah satu pekerjaan tak ada yang Kara pilih. Bukan tak ingin, hanya masih ingin menenangkan diri dari lelahnya belajar selama 12 tahun.

Kara juga punya satu mimpi besar, dan dia ingin mimpi itu teruwujud meskipun sulit mewujudkannya. Namun, Kara akan berusaha sebisa dia.

Perihal Langit, sepanjang 2018 dia tak bertemu laki-laki itu. Ah, bukan tak bertemu dia, tapi tak berbicara dengan Langit selama hampi setahun. Kara lebih memilih menjauh, meskipun dadanya selalu merasa sesak setiap kali dia mengingat Langit.

Kalian pikir Kara sudah sadar? Tidak, Kara belum sadar tentang perasaannya pada pemuda itu berhidung mancung dan senyuman manis diwajahnya. Dia hanya menanggap hal itu salah satu tanda dari jantungnya yang semakin parah.

Bulan terakhir di 2018, sepanjang tahun tak ada yang istimewa. Semuanya biasa saja, baik perasaan dan rasanya. Tak ada yang dekat dengannya. Kara kasih nyaman dengan kehidupannya seperti ini, masih nyaman dengan kesendiriannya selama ini. Dia kasih tak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Gadis itu bahkan tak sadar jika hatinya terikat dengan sang sepupu selama ini.

"Kara." suara itu membuat dia sadar dari lamunannya.

"Vanessa," ucapnya.

"Kamu kenapa? Kok ngelamun?" tanya Vanessa.

"Ah, nggak. Kamu kenapa tumben ke sini?" tanya balik Kara.

"Apa, sih? Kan emang biasanya ke sini," balasnya sinis.

Kara terkekeh mendengar ucapannya, dia suka sekali membuat Vanessa kesal.

"Nggak. Bercanda aja itu loh."

"Nggak dengar!" kesalnya.

"Jajan, yuk," ajak Kara.

"Ayo!" balas Vanessa bersemangat. Dengan segera dia pulang mengambil motor, sedangkan Kara masuk mengambil dompet juga ponselnya.

Dia mengecek ponsel itu, tak ada yang istimewa. Hanya notifikasi tak penting yang masuk. Mendengar suara motor Vanessa, Kara langsung turun ke bawah.

Mereka melaju menuju tempat di mana menjual makanan yang bisa mereka makan. Sepanjang jalan pemandangannya masih sama. Tak ada yang berubah, masih banyak anak kecil yang bermain di luar bersama temannya. Masih ada Ibu-ibu yang duduk di bawah rumah seraya bercengkrama. Dan masih banyak kegiatan lain yang mereka lihat.

Tak lama, motor Vanessa berhenti di salah satu penjual makanan. Keduanya turun dan langsung memesan makanan yang mereka mau.

"Kar, nggak ngambil kerjaan yang ditawarin?" tanya Vanessa.

"Nggak, Van. Kamu?" tanya balik Kara.

"Nggak juga, aku lebih milih jadi satpol aja nanti."

"Masih?"

Vanessa mengangguk. "Iya, masih. Kamu nggak minat?"

"Nanti aku coba pikirin." Vanessa hanya membalas dengan anggukan. "Kak Lang gimana?" tanyanya.

"Nggak gimana-gimana, emang kenapa?"

"Nggak. Kamu nggak pernah ketemu dia?" tanya Vanessa penasaran.

"Nggak pernah. Van, kenapa, ya dada aku selalu sesak. Apa efek dari jantung aku?" tanyanya.

"Sesak? Udah coba periksa?" Kara menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Gimana mau tau kalau kamu nggak periksa."

"Aku takut dokter bilang kalau makin parah."

"Kar, sesak nggak melulu bisa tentang penyakit."

Kara menatapnya dengan serius, tak paham dia dengan maksud ucapan Vanessa.

"Kamu pasti nggak paham, kan?" tanyanya. Kara mengangguk polos. "Gini, sejak kapan kamu mulai sesak?"

"Setahun terakhir, tepatnya beberapa bulan setelah magang selesai."

"Itu bukan tentang penyakit, tapi tentang perasaan dan rasa kamu."

"Perasaan dan Rasa?" tanya Kara masih tak paham.

"Permisi, ini makanannya."

"Makasih, Bu," balas Kara.

Setelah si pemilik warung pergi, Kara kembali menatap Vanessa untuk meminta penjelasan.

"Langit. Langit alasan kenapa kamu sering ngerasain sesak. Ingat, setelah ketemu sama dia kamu mati rasa sama orang lain, sesak itu datang ketika kamu sama Langit udah ketemu," jelas Vanessa.

"Nggak mungkin," bantahnya.

Vanessa menarik napas panjang. "Nggak ada yang nggak mungkin, Kar. Mau kalian saudara sekalipun, perasaan nggak bisa dibohongi."

"Kalau karena Langit, itu nggak bisa, Van. Kita tau gimana adat kita, 'kan? Dilarang berhubungan dengan sepupu sendiri," ucap Kara.

"Kamu bener. Keluarga kita masih punya adat dan hal itu nggak dibenarkan. Tapi, percaya deh perasaan sesak itu karena dia, Langit." Kara terdiam mendengar ucapan Vanessa, dia mengaduk makanannya sejak tadi. Ucapan Vanessa berputar dikepalanya sekarang.

Vanessa benar, semua karena Langit. Perasaan yang tak bisa Kara tahan akhirnya menyakitinya secara sepihak. Semesta tak baik padanya, semesta selalu membuatnya jatuh pada dua hal, ditinggalkan dan tak bisa dimiliki.

Sulit? Ya, memang sulit. Namun, bagaimana pun Kara harus melewati hal itu. Hal yang bahkan tak pernah dia sangka akan muncul dalam kehidupannya.

Menyukai seseorang bukan kesalahan, tak ada yang tahu kapan dan pada siapa hati kita dijatuhkan. Tak ada yang tahu juga pada siapa perasaan kita dihancurkan. Semuanya berjalan begitu saja.

Perasaan yang Kara takuti mulai dia rasakan, namun dia masih harus mencari tahu semuanya sendiri. Dia tak bisa jika hanya mengandalkan ucapan Vanessa tanpa mencari tahu.

Bagaimanapun juga, Kara yang merasakan, Kara yang akan menjalani semua rasa yang suatu hari akan muncul dihidupnya.

Setidaknya sekarang hanya tentang perasaan dan masa depan, bukan hal lain.




[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Where stories live. Discover now