04

200 45 93
                                    

Kara masih setia bergelut di depan komputer ruang kerjanya. Sudah hampir jam pulang kerja, tapi dia masih belum selesai dengan pekerjaanya. Pembimbingnya di kantor itu tak masuk dan dengan terpaksa dia harus menghandle semua pekerjaan yang kemarin belum selesai.

Satu persatu karyawan di ruangan itu sudah pulang dan hanya menyisahkan dirinya, pimpinan dan seorang akuntan di sana.

Kara meregangkan sedikit badannya dan melepas kacamata yang sedari pagi terpasang di sana. Dia memijat kedua alisnya dengan mata terpejam. Mengistirahatkan sejenak matanya yang sudah menatap monitor komputer sejak pagi tadi.

PKL Kara tinggal satu setengah bulan lagi dan laporannya sudah tak direvisi. Dia menghela nafas, lalu kembali melanjutkan sedikit pekerjaan yang hampir selesai itu.

"Kara, ayo pulang! Besok bisa dilanjut lagi," ucap sang pimpinan.

"Nggak usah, Pak. Sedikit lagi selesai," balasnya sopan.

"Yasudah, kalau semuanya selesai langsung pulang. Sudah hampir setengah 5 sore."

"Baik, Pak." pimpinan itu akhirnya berlalu menyisahkan Kara di sana bersama dengan seorang Akuntan.

Kara melanjutkan kegiatannya, dia melihat lembar surat yang tersisah satu itu dan semangatnya kembali menggebu.
Kara telah selesai, dia akhirnya membereskan segalanya dan bersiap untuk pulang. Bersama dengan itu suami dari Akuntan yang bersamanya datang untuk menjemput istrinya.

Kara melempar senyumnya, dia cukup tahu siapa pria itu. Sebab setiap hari dia datang menjemput sang istri.

"Mbak, Kara duluan, ya," ucap Kara.

"Iya, Kara. Hati-hati, ya!" Kara hanya mengangguk sambil tersenyum padanya.

Kara kini berjalan menyusuri lorong kantor tersebut, sudah cukup sepi sebab banyak karyawan yang sudah pulang sejak tadi dan hanya menyisahkan beberapa yang memilih lembur.

Seperti biasa Kara selalu menunggu angkutan umum di halte depan kantor tersebut. Namun, karena dia sedikit telat dari biasanya, dia harus menunggu cukup lama.

Sudah lima belas menit Kara menunggu, namun angkutan umum enggan tiba. Dia duduk di kursi panjang sambil memainkan ponsel. Sebuah pesan dari Vanessa dia baca, Kara menghela nafas lega sebab Vanessa akan pulang jam 6 nanti. Itu artinya dia tak akan melihat Vanessa dengan wajah kesal menunggu di depan pintu.

Tengah menunggu, tiba-tiba sebuah motor matic putih berhenti di depannya. Kara menoleh, dia terkejut melihat seseorang yang tengah tersenyum manis ke arahnya.

"Langit?" tanya Kara.

"Ayo naik! Kamu nunggu angkotkan? Jam segini lama." Kara diam, dia memikirkan tawaran yang diberikan oleh pemuda yang seatap dengannya. "Jangan lama-lama! Ayo cepetan, udah mau maghrib." Kara akhirnya bangkit dan berjalan ke arah Langit. Dia duduk di motor pemuda itu, tak lupa Langit menarik kedua tangan Kara untuk melingkar dipinggangnya.

Keduanya berada di perjalanan untuk pulang, tak ada yang bersuara di sana. Baik Kara maupun Langit, Langit lebih memilih untuk menatap matahari tenggelam sambil merasakan pelukan dari Kara. Sedangkan Kara hanya bisa diam dan tak paham dengan sikap Langit.

Terlalu asik memperhatikan matahari tenggelam, Langit tak sadar jika dia sudah sampai di depan rumah. Kara turun setelah motor milik Langit berhenti.

"Makasih udah jemput aku," ucap Kara.

"Sama-sama. Ganti baju, kita jalan, makan di luar. Kamu belum makan juga, 'kan?" tanya Langit. Kara terdiam, bingung untuk menjawab pertanyaan yang terlontar dari Langit.

"Ayo! Jangan mikir lama-lama atau nggak mau ganti baju?" tanya Langit.

"Eh? Nggak. Aku ganti baju dulu, 5 menit," ucap Kara.

Kara akhirnya bergegas naik ke atas, dia langsung melempar tasnya ke atas kasur. Dan mengambil sweater serta celana kain di dalam lemari.

Setelah mengganti pakaiannya, dia langsung bergegas mengambil dompet dan ponselnya di dalam tas. Kara berlari turun dari lantai 3 menuju Langit.

"Lama? Maaf, ya," ucap Kara.

Langit tersenyum. "Nggak kok. Ayo naik."

Kara naik ke motor Langit, mereka akhirnya bergegas pergi. Kara sudah menghubungi Vanessa untuk mengatakan bahwa kunci rumah ada di lemari sepatu.

Masih seperti tadi, Langit menarik kedua tangan Kara untuk melingkar di pinggangnya. Sekarang keduanya seperti sepasang kekasih yang bahagia. Apalagi senyum diwajah Langit terpatri dengan bahagia.

Suasana malam di Makassar begitu ramai, Kara menikmatinya perjalananya bersama sang keponakan kakak iparnya itu.

Langit berhenti tepat di parkiran pantai Losari. Kara masih diam, dia melihat sekeliling dan enggan turun. Langit menoleh, hingga deru nafasnya menerpa wajah Kara.

"Nggak mau turun?" tanya Langit.

"Loh? Katanya makan, kok ke sini?" tanya balik Kara.

"Kara, kita makan di sini. Nggak papa, 'kan?"

"Oh. Nggak papa kok." Kara akhirnya turun, diikuti oleh Langit. Pemuda itu mengenggam jemari Kara dan membawanya ke salah satu kedai yang ada di sana.

Langit memesan makanan untuk mereka sedangkan Kara memilih tempat duduk yang langsung berhadapan dengan laut lepas.

Kara sangat menyukai pantai, baginya pantai salah satu tempat healing terbaik di dunia ini.

Langit datang setelah pesanan makanannya selesai. Sembari menunggu pesanan datang, Langit menatap Kata sambil tersenyum. Namun, Kara hanya membalas dengan senyum tipis.

Dia masih tak sadar akan perasaanya pada Langit. Kara masih terjebak dalam dunia yang dia buat sendiri dan Langit masih belum berhasil menerobos masuk ke dalam sana.

Mungkin Kara akan sadar di akhir atau ditengah jalan, ketika dia selalu menghabiskan bersama dengan Langit, seperti saat ini.

Bagaimana Kara menyadari perasaannya pada Langit dan seperti apa akhir kisah mereka hanya Kara sendirilah yang tahu.

















Hai...

Gimana?

Kisah Kara sama Langit bikin kalian penasaran nggak? Mau dilanjut? Yaudah vote sama commen oke!!!

See u next time di 'Rasa'

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Where stories live. Discover now