19

40 6 0
                                    

Kara dan Vanessa akhirnya sudah siap pulang ke rumah mereka. Koper dan tas mereka sudah ada di depan pintu. Mereka tinggal menunggu taksi online di depan gang rumah Angel.

Angel tak di rumah, pun dengan Elang dan Langit. Mereka sibuk di toko sebab hari ini ada banyak barang yang masuk. Namun, Kara dan Vanessa sudah berpamitan lebih dulu dengan Angel.

Kara memang tak begitu dekat dengan Elang. Elang hanya bicara seperlunya, pun dengan Kara. Tak canggung hanya saja Kara memang seperti itu.

"Akhirnya, ya, Kar setelah 4 bulan lebih kita selesai magang dan balik ke sekolah besok. Sumpah ini tuh rasanya lega banget," seru Vanessa.

"Sama. Nggak nyangka aja bisa selesai, padahal waktu pertama aku ngerasa takut aja nggak bisa beradaptasi sama dunia kerja, eh ternyata ketagihan," balas Kara.

"Bener banget! Cuman kamu, kan masih ada seminggu masuknya setelah aku jadi persiapan dirinya masih oke. Lah aku? Aku masuk pas tanggal 2 coba," tutur Vanessa.

Kara hanya terkekeh mendengarnya. Kalau diingat, lucu memang rasanya. Keduanya masih takut-takut untuk memulai empat bulan lalu. Takut jika tak bisa beradaptasi, takut tak bisa punya teman baru dan masih banyak lagi ketakukan mereka.

Namun, semua itu mereka tepis ketika apa yang mereka pikirkan tentang ketakutan mereka ternyata salah besar. Dunia yang mereka masuk menerima mereka dengan sepenuh hati bahkan orang-orang di dalamnya menyukai kinerja mereka.

Tak lama taksi online yang sudah mereka pesan menelepon dan mengatakan bahwa dia sudah menunggu di depan. Dengan cekatan Kara dan Vanessa mengangkat barang mereka keluar.

Benar saja, sebuah mobil pribadi berwarna hitam tengah menunggu mereka. Sang supir membantu Kara dan Vanessa menaikkan barang ke dalam mobil.

Selesai. Keduanya sudah selesai dan ikut masuk ke dalam mobil. Kini Kara dan Vanessa benar-benar pulang, mobil yang mereka tumpangi mulai bergerak jalan menuju alamat yang mereka tuju.

Vanessa dan Kara sudah meninggalkan Makassar dan kembali ke rumah mereka yang jaraknya 2-3 jam menggunakan mobil. Tak ada yang istimewa dalam perjalanan mereka, keadaanya masih sama meski mereka jarang melewatinya.

Setelah keluar dari kota Makassar, hamparan sawah dan rumah-rumah panggung terlihat cantik. Kara suka hal ini, dia tak akan tidur hanya untuk menikmati pemandangan tersebut.

Matahari mulai meninggi, perjalanan mereka sudah berlalu satu jam. Vanessa sudah terlelap dalam tidurnya, sedangkan Kara masih asik menikmati indahnya pemandangan sepanjang jalan.

Namun, tiba-tiba saja dia teringat oleh Langit. Entah mengapa fokus pikirannya tertuju pada laki-laki jangkun yang sering menggodanya itu.

Kara menghela napas saat merasa dadanya diselimuti rasa sesak yang tak dia paham darimana asalnya. Dia mencoba mengalihkan fokusnya pada hal lain, namun tetap saja Langit yang terus muncul dikepalanya.

Kara akhirnya mencoba untuk tidur seperti Vanessa, dia berharap kepalanya sudah tak lagi memikirkan mengenai Langit dan segala tingkah lakunya.

Setelah matanya terpejam, Kara mulai terlelap sedikit demi sedikit. Dia mulai bisa tidur dan melepas fokus pikirannya agar tak selalu tentang Langit.

Pemandangan sepanjang jalan memang bisa membuat siapa saja teringat akan hal yang sering kita lakukan, seperti Kara yang teringat akan Langit. Perjalanan dengan pemandangan indah hanya membawa memori dari setiap perjalanan yang kita lalui bersama siapapun.

Namun, entah sampai kapan Kara tak sadar akan rasa yang mulai muncul untuk sang saudara sepupu. Rasa yang dia hindari dan tak ingin muncul dalam dirinya kini hadir.

Rasa itu akan terus tumbuh menjadi besar dan menjalar keseluruh tubuh, rasa ingin memiliki akan menggebu-gebu suatu hari nanti. Meski Kara tahu bahwa rasa yang muncul tak akan bisa disatukan.

Kara gadis polos berusia 17 tahun yang tak seharusnya bertemu dengan Langit pemuda 20 tahun yang menjadi sepupu sekaligus keponakan dari Elang.

Perasaan Kara tulus, namun sayang rasa gengsi mengalahkan kesadarannya akan hal tersebut. Banyak hal yang sebenarnya Kara takuti, tentang perasaan yang mungkin saja tak terbalaskan.

Akan lebih baik jika Langit memiliki seorang kekasih, mungkin dengan itu bisa menghapus perasaan yang tak Kara sadari itu.

Namun nyatanya, Kara tak pernah melihat Langit jalan dengan seorang perempuan darimanapun. Entah Kara yang memang tak pernah melihatnya atau Langit yang memang tak memilikinya. Tak ada yang tahu.

Jam berlalu dengan cepat, Vanessa dan Kara bangun dari tidurnya. Mereka sudah hampir sampai, tinggal 15 menit memasuki area kampung mereka.

Kara meregangkan otot-ototnya, pun dengan Vanessa. Gadis itu mengambil ponsel dan menelepon sang Ayah.

"Ayah, Kara udah mau sampai. Udah masuk perempatan."

"Iya, Ini Ayah sama Bunda di bawah rumah nungguin kalian."

"Oke, Kara tutup, ya. Assalamualaikum."

"Waalakumsalam."

Setelah telepon ditutup, mobil pun berhenti tepat di depan rumah panggung milik Kara. Benar saja, di sana sudah ada Ayah, Bunda dan Ibu Vanessa menunggu mereka.

Kara dan Vanessa menurunkan semua barang mereka dibantu sang supir dan Ayahnya. Setelah membayar sang supir, mobil yang mereka tumpangi pun pergi. Kedua gadis cantik itu duduk di selasar bawah rumah yang dibuat oleh sang Ayah.

Ayah Vanessa sudah tak ada, sudah meninggal setahun yang lalu, karena penyakitnya. Vanessa itu gadis yang kuat dan tak pernah mengeluh, dia selalu tertawa lepas meski Kara tahu dia menyimpan banyak luka dan rasa sesak.

Namun, Vanessa tak ingin membaginya pada siapapun. Dia hanya ingin menikmati rasa tersebut, menangis dan kemudian melupakannya.

Terkadang Kara ingin menjadi sekuat Vanessa, tak pernah mengeluh dan manangis di depan umum. Tak pernah memperlihatkan bahwa dia sedang rapuh. Semua orang yang mengenal Vanessa bahkan tak pernah mendengar keluhan gadis itu, pun dengan curahan hatinya.

Yang Kara tahu, Vanessa kuat dan mampus melewati semuanya meski sulit dan banyak rintingan. Tak apa Kara akan selalu ada di belakang Vanessa, membantunya jika membutuhkan.

"Sudah selesai magangnya?" tanya Ibu Vanessa.

"Sudah, Bunda. Besok kita berdua sudah masuk sekolah," balas Vanessa.

"Yasudah. Naik makan kalian, Bunda sudah masak makanan kesukaan kalian berdua," timpal Ibu Kara.

Tanpa basa-basi keduanya berlari naik ke atas dengan wajah gembira. Kebetulan mereka berdua memang cukup lapar selama perjalanan.

Cerita magang Kara akhirnya selesai. Mulai besok dia akan kembali sebagai anak sekolah, mulai besok juga dia tak akan bertemu dengan Langit lagi. Tak apa semoga dengan itu, Kara bisa lupa dengan rasanya yang tak seberapa besar.

Meski mungkin saja tak ada yang bisa menjamin hal itu, sebab Kara masih dan akan terus mengunjungi rumah sang kakak, tempat dimana Langit berada. 






[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Where stories live. Discover now