24

58 17 59
                                    

Juli 2017

Libur panjang akhirnya tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya, Kara selalu pergi ke rumah Angel untuk menginap dan membantu wanita itu. Apalagi ini juga memasuki bulan Ramadhan, dimana Angel akan membuka toko lebih awal dari biasanya.

Kara juga selalu menambahkan uang tambahan selama di sana, biasanya uang itu digunakan untuk membeli alat-alat sekolah yang baru atau sekedar untuk uang jajannya nanti.

Kara bukan tipikal gadis boros, dia akan menyimpan uangnya untuk kepentingannya suatu hari nanti. Tahun ini dia tak bisa lebih lama di rumah Angel, hanya 15 hari sampai hari Raya tiba dan kembali ke rumahnya.

Iya, Kara masih harus turun sekolah yang wajib dia lakukan setiap tahunnya. Seperti hari ini, dia akan pergi sore nanti ke rumah Angel. Hal yang Kara suka adalah perjalanan dan matahari senja.

Dia tak membawa banyak pakaian, karena masih ada baju-baju Angel yang bisa dipakai. Hanya laptop yang wajib dia bawa untuk mengerjakan tugas yang diberikan.

Ke rumah Angel tahun ini membuat Kara merasa bahagia dari tahun-tahun sebelumnya, dia bahkan merasa ingin cepat-cepat sampai di rumah wanita itu.

"Kara," panggil Vanessa.

"Apa?" tanya Kara.

"Ke rumah kak Angel jam berapa?"

"Sore jam 4 kenapa? Mau ikut?"

"Nggak, deh banyak kegiatan sama anak kelasku."

"Terus ngapain nanya?"

"Nggak papa. Berarti ketemu Langit?"

"Iyalah, kan Langit di rumah Kak Angel."

"Wah. Kar, kamu serius nggak suka sama Langit?" tanya Vanessa serius.

Kara menghela napas mendengar pertanyaan itu. "Ya, nggaklah, kan dia keluarga. Gimana mau suka?"

"Hm, bener, sih. Tapi, sedikitpun perasaan buat dia nggak ada?"

"Nggak ada, Vanessa. Udah, ah, kenapa sih malah bahas Langit."

"Mau tau aja. Langit ganteng masa nggak suka, sih."

Kara menghentikan aktivitas melipat pakaiannya dan menatap Vanessa dengan lekat. "Van, perasaan nggak bisa dipaksain, kan? Kalau misalkan nggak suka mau gimana lagi? Lagian Langit cuman anggap aku adek nggak lebih."

Vanessa mengangguk mendengar penjelasan Kara. "Yaudahlah, mau pulang. Jangan lupa minggu depan ke sekolah!"

"Iya-iya, Jumat aku balik kok."

"Kalau jumat balik, terus kapan ke sana lagi?" tanya Vanessa.

"Hm... Mungkin kamis, mau lama-lama di sini dulu sekalian ngerjain tugas," balas Kara.

"Yaudah, aku balik. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah Vanessa pergi, Kara melanjutkan melipat pakaiannya. Tinggal sedikit, setelah itu dia bisa menyimpan di lemari dan bersiap-siap.

Kara meregangkan badannya, pekerjaannya sudah selesai. Dia sudah menyimpan pakaian itu di lemarinya. Kara membaringkan badannya sebentar, dia cukup lelah akan aktivitas hari ini. Belum lagi dia sedang berpuasa sekarang.

"Nak, jam berapa Ayah antar ke jalan raya?" tanya Ayahnya.

"Nggak usah, Yah. Nanti mobilnya jemput kok."

"Yaudah. Jangan lupa bawa cemilan buat buka di jalan nanti."

"Iya, Ayah."

Kara bukan anak terakhir, dia anak kedua dari tiga bersaudara. Hanya saja dia sedikit lebih diperhatikan daripada Angel dan adiknya. Ya, apalagi kalau bukan karena dia sedikit istimewa dari kedua saudaranya.

Sejak kecil dia sering sakit-sakitan dan sekali sakit dia bisa membuat orang-orang khawatir tentang keadaannya. Dulu dia sangat suka tinggal dengan Angel, jika disuruh pulang dia akan menangis dan jika Angel mengantarnya pulang, maka bisa dipastikan dia akan menangis saat melihat Angel pulang ke rumahnya.

Tapi, sejak duduk di bangku SMP sikap itu sudah tak lagi ada, meski dia masih sering sakit-sakitan. Mungkin karena Angel sudah memilih anak, dan Kara sudah paham dengan keadaannya sekarang.

Puas bersantai Kara melirik jam dinding di atas pintu masuk. Sudah hampir jam 4, dia ternyata tak sadar karena terlalu asik bermain ponsel.

Kara bangkit dan masuk ke dalam kamarnya untuk siap-siap. Untunglah barang yang akan dia bawa sudah siap sejak tadi.

Suara klakson mobil terdengar dari bawah, Kara dengan cepat keluar dari kamarnya dan membawa barang miliknya.

Di sana sudah ada Vanessa, Ibunya dan kedua orang tua Kara. Gadis itu pamit dengan keempatnya. Angin sore menerpa wajah gadis itu.

"Kara pamit dulu," ucapnya."

"Hati-hati, Nak," balas sang Bunda.

"Iya, Bun."

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Kini gadis itu naik ke atas mobil, mobil melaju meninggalkan depaan rumahnya. Matahari sedikit demi sedikit mulai turun keperaduan. Kini Kara sudah memasuki area jalan raya, banyak mobil yang berlalu lalang di sana.

Penumpang mobil itu tak terlalu banyak, hanya ada tiga orang beserta supirnya. Kara bisa leluasa untuk tidur jika dia ingin.

Sepanjang jalan, Kara hanya menatap hamparan sawah yang bisa dia lihat dan juga beberapa rumah panggung. Entahlah, dia terlalu menyukai hal ini. Angin di daerah membuatnya seperti hidup dan memiliki hanyak energi.

Namun, fokus dikepalanya malah tertuju pada Langit, membuatnya tersentak kaget ketika menyadarinya.

"Ah, apa yang aku pikirkan?" monolognya.

"Kita mampir dulu, ya, sudah mau buka puasa," ucap sang supir.

Tak ada yang menjawab, Kara hanya mengangguk karena dia sudah cukup lapar dan huas.

Mobil itu berhenti, dan semuanya turun. Kara memilih beberapa roti dan makanan untuk dia makan, hari ini dia tidak ingin makan yang terlalu banyak, karena Angel pasti akan mengajaknya pergi sholat taraweh.

Perjalanan akan dilanjutkan setelah sholat maghrib nanti, supirnya masih bercengkrama dengan beberapa supir di sana dan Kara memilih masuk ke dalam mobil untuk menunggu sembari memainkan ponselnya.

Lagi-lagi ingatannya kembali ke Langit, tak tahu kenapa hari ini dia memikirkan pemuda itu dan ini sudah dua kali.

Dia bahkan tak sadar tentang perasaanya pada laki-laki jangkun berkulit putih itu. Yang Kara tahu, hanya perasaan rindu pada sang kakak, tanpa melibatkan perasaan.

Kara menghela napasnya kuat. "Stop it, Kara!"

Tak lama semua sudah masuk ke dalam mobil, mobil itu mulai bergerak melanjutkan perjalanannya. Kara memejamkan matanya, dia cukup menangkut setelah mengisi perutnya.

Masih ada sejam dan rasanya tak mungkin dia bisa sholat bersama Angel nanti. Mungkin saja saat Angel pulang, dia baru sampai di rumah wanita itu.

Kara cukup hebat dalam hal tak peka. Sudah beberapa bulan berlalu sejak magangnya selesai dan dia belum sadar mengenai perasaannya pada Langit, sungguh hal yang tak mungkin terjadi pada orang lain. 





[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Where stories live. Discover now