2. | Nomor Aku Masih Sama!

Start from the beginning
                                    

“Ya ampun, Mbak ke mana aja, sih, baru datang sekarang?!”

“Biasa, Ni. Abangku cerewetnya kambuh.”

“Pasti Mbak melakukan kesalahan, nih, makanya Pak Danesh ngomel. Tuh, kan, akibatnya jadi Mbak yang lelet.”

“Ya ampun. Giliran kamu yang cerewet di sini. Lagi pula, aku enggak punya salah apa-apa sama Bang Danesh, dasar dia aja ngomel enggak berjeda.”

“Masalahnya, Mbak, kita sudah ditunggu tahu.”

Lavaka berdeham singkat, lalu membenarkan posisinya agar nyaman. Perdebatan itu mereda, berganti ketukan yang terdengar. Lavaka melirik Dina, serta-merta mengode lewat mata sampai sekretarisnya menyahut—mempersilakan sang pengetuk memasuki ruangan yang lebih dahulu diisi mereka.

Lavaka membisikan sesuatu pada Dina yang lantas diangguki. Detik berikutnya, dengan napas tercekat ia memindai ke satu titik. Pintu yang terbuka secara perlahan dan pasti, memicu Lavaka meremas celana dasarnya. Menghadapi situasi ini ternyata lebih sulit daripada yang pernah dibayangkan.

Tubuh semampai itu tampak memukau dalam balutan gaun biru tua di bawah lutut dengan lengan pendek dan menggelembung, lengkap di bagian pundak kiri tersampir tas mewah berwarna senada, serta sepasang high heels putih yang tidak terlalu tinggi. Tidak lupa netra berbentuk almon yang memancarkan keteduhan.

Sedetik pun Lavaka tidak berpaling, sulit sekali. Walau ekspresinya tetap datar, tetapi gejolak di dada berkata sebaliknya. Lavaka memaksa matanya memejam sebentar, lalu menoleh sembarang arah sebelum membuka kembali. Bersamaan dengan itu, ia tersentak ketika mendapati dua kursi di hadapannya telah ditempati.

“Maaf, Pak Lavaka, Mbak Dina, kami terlambat datang. Ada sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya terjadi.”

“Enggak apa-apa, Mbak Nia.” Tanpa dikode bosnya, Dina menyambut permintaan maaf Nia dengan sama ramahnya. “Dan …, Mbak Love, saya izin memperkenalkan diri. Saya Dina, sekretaris Pak Lavaka.”

“Salam kenal, Mbak Dina.” Sembari mengulum senyum, Lovely menerima uluran tangan Dina. Untunglah ia telah lebih dahulu bertanya ke Dina terkait sekretaris Lavaka itu sebelum perasaan cemburu menyerang. “Sekali lagi kami minta maaf karena datang agak terlambat, ya.”

“Saya Lavaka.”

Bukan hanya ketiga perempuan di sekitar yang terkejut, bahkan Lavaka sendiri tidak tahu sejak kapan mulutnya bocor menyebutkan nama. Tidak mau bertambah malu, ia bersikap tak acuh dan menyuruh Dina mengambil alih percakapan. Saat tidak sengaja pandangannya dan Lovely bertemu, Lavaka pun berpaling.

“Hem …, enggak apa-apa, Mbak.” Dina mengusap tengkuknya dan beralih haluan menyodorkan sejumlah berkas yang telah disiapkan sebagaimana perintah Lavaka. “Ini, Mbak. Boleh dicek dulu. Semua poin di kontrak tertulis dapat kita diskusikan di awal sebelum sama-sama tanda tangan.”

Sama halnya Dina, Nia juga diselimuti bingung. Bermodal pengalaman menemani Lovely, ia berdeham singkat. “Baik, Mbak. Saya akan membacanya.”

Musyawarah berlangsung lancar biarpun hanya perwakilan antara dua belah pihak yang terlibat—Dina dan Nia. Adapun Lavaka serta Lovely yang sekadar mendengarkan, sesekali menyahut jika dibutuhkan. Itu juga perlu ekstra sabar karena dua insan yang di masa lalu sempat terlibat hubungan tersebut, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jari-jari Lovely yang berkeringat di pangkuan saling memilin. Ia menunduk, tetapi matanya masih menelaah bagaimana gerak-gerik datar Lavaka Delio Athalla. Sepuluh tahun ternyata tak banyak mengubah seseorang, termasuk perawakan wibawa dan sorot tajam yang tidak ada duanya.

Sialnya lagi, Lovely paham hatinya tidak sepenuhnya sembuh dari fragmen yang selalu diingat. Ia konstan tenggelam pada pesona Lavaka yang tak pernah mati, bahkan makin terpukau akan sosok tampan nan rapi di depannya. Lavaka terpantau telah sukses, juga memiliki perusahaan yang banyak digunakan segala kalangan.

“Jadi, Mbak Lovely syuting dan pemotretan mulai tanggal satu. Kita kejar setoran, mengingat waktu kita yang tidak banyak. Minimal di hari itu, pemotretan untuk promosi di media sosial. Baru keesokan harinya lanjut take video. Mbak Lovely bisa latihan dulu buat tarian khas BuyGet.”

Lamunan Lovely buyar, mencoba memungut fokusnya dengan mengerjap berkali-kali. Ia menggigit bibir bawahnya sebab merasa lapar, tetapi sepertinya diskusi Dina dan Nia tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

“Untuk kostumnya sendiri bagaimana, Mbak Dina?”

“Perusahaan yang akan menyediakan, Mbak Nia. Semua yang dipakai oleh Mbak Lovely—baik di pemotretan ataupun pengambilan video—dari kami. Istilahnya, Mbak Lovely tinggal bawa badan.”

“Ah. Baik kalau begitu. Akan saya catat.”

“Dan sebaiknya … hari ini cukup sampai di sini.” Tiba-tiba nada ketus nan tegas Lavaka terdengar. “Dina, kita punya beberapa pertemuan lagi, kan, setelah ini?”

Dina melotot, mendadak pikirannya kosong. “Tidak a—”

“Enggak bawa berkas lagi? Kebiasaan kamu!”

Lavaka tak memedulikan lirikan Dina, Nia, terlebih Lovely. Gadis yang diakuinya sebagai mantan itu menaikkan sebelah alis tebalnya, membuat Lavaka segera mengedarkan pandangan sembarang. Ia bangkit seraya membenarkan jasnya seakan-akan tidak lagi rapi, begitu kentara tidak mau berlama-lama di tempat.

“Kita bisa minta nomor Lovely saja untuk percakapan lebih lanjut.”

“Nomor aku masih yang lama!”

Hening. Lovely, yang baru saja menjerit, sekejap gemetar dan linglung di bawah atensi seluruh pasang mata. Andai Nia tidak memegang lengannya, ia dipastikan sudah melemas di posisi. Terlebih Lovely jengkel dengan tingkah dan ekspresi Lavaka yang jauh dari kata profesional.

Mimik muka Lavaka masih seperti semula; tenang, datang, dan tajam. Tak mudah mengerti maksud pandangan yang saat ini terarah pada Lovely. Lavaka mengirim sinyal lagi pada Dina, sementara hanya melirik Lovely dan Nia sekali. Tubuh tinggi tegap laki-laki itu terlalu mengintimidasi hingga tidak satu pun berani berkedip.

For your information, mengingat ini baru kerja sama pertama antara BuyGet dan Anda …, kami tidak mempunyai nomor Anda. Jika berkenan, silakan kasih ke sekretaris saya untuk dihubungi nanti,” papar Lavaka lugas. “Oh, ya …, jangan lupa tanda tangan berkas ini. Jangan hanya kamu pelototi.”

Bukannya tersentak ataupun sakit hati, bibir Lovely justru merekah lebar hingga netra bulatnya menyipit. Tidak gentar sama sekali, ia berujar, “Entah kenapa, aku yakin kalau nomor aku pun … masih Kakak simpan. Bukankah begitu, Kak Lavaka?”

 Bukankah begitu, Kak Lavaka?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

//15 Agustus 2022\\

○◔◑●

Drunk in LoveWhere stories live. Discover now