"Tidak ada pilihan lain?" tanya Felicia dengan suara yang sangat pelan dan serak. Air mata tersekat di tenggorokan. Tidak menetes dari mata, tapi sangat menyesakkan dada. Felicia ingin menangis. Ternyata tidak mudah untuk mendapatkan pinjaman uang sebesar itu. Ya, tentu saja. Tiga ratus juta tidaklah sedikit.

Felicia makin lemas saat melihat gelengan kepala pria itu. Bahunya turun. Ia bersandar lesu di kursi.

"Jadi istriku, dan uang itu tidak perlu kau kembalikan," katanya lagi. "Selain itu, kau mendapat fasilitas kartu kredit dan mobil sesuai pilihanmu."

"Tapi saya tidak bisa mengendarai mobil," tukas Felicia polos. Astaga! Ia tidak sadar jawaban itu meluncur dari bibirnya. Ia bahkan belum berpikir untuk setuju menjadi istri pria dingin itu, tapi mengapa ia sudah merespons kalimatnya tentang fasilitas yang akan ia dapat bila menjadi istrinya?

"Itu tidak menjadi masalah. Kau boleh kursus mengemudi atau jika perlu kusediakan sopir untukmu," katanya dengan mimik wajah datar.

Felicia menatap pria itu tidak percaya. Matanya membesar dengan dada sesak. Oksigen seakan pergi dari sekitarnya. Dari paru-parunya.

Pria ini membicarakan pernikahan seolah membicarakan kontrak kerja sama. Dingin, datar, tegas.

Benak Felicia perlahan tapi pasti mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang membuat pria ini ingin ia menjadi istrinya? Pria ini tampan dan kaya, yang pastinya dengan mudah mendapat wanita mana pun yang ia mau.

Kau seharusnya bersyukur dia bersedia membantumu, Felicia!

Sebuah suara yang bergema di kepalanya membuat Felicia menggigit bibir. Yeah! Seharusnya ia tak perlu banyak berpikir apa yang menjadi alasan pria itu, yang penting ia mendapatkan uang itu saat ini juga.

"Tapi semua itu tidak gratis."

Suara itu menusuk kesadaran Felicia. Oh, tentu saja semuanya tidak gratis. Ia tidak berharap pria itu memberinya uang ratusan juta dan semua fasilitas yang ia sebut tadi hanya untuk sebuah status, yaitu istrinya.

"Layaknya seorang istri, kau harus melayaniku dengan baik," jelasnya dengan mimik wajah datar.

Melayaninya?

Marco menyeringai samar. "Melayaniku sebagaimana mestinya yang dilakukan oleh seorang istri," jelasnya datar.

Wajah Felicia seketika merona. Kalimat itu bukan hanya berhasil membuat darah menyerbu deras ke leher dan wajahnya, tapi juga membuat ia hampir terjengkang dari kursi. Tapi ini memang bukan film kartun yang konyol. Ia tetap berada di posisinya walau sudah tidak kuat lagi untuk duduk tegak. Seluruh saraf di tubuhnya melemah. Dada sesak menahan serbuan rasa gelisah.

Tentu saja! Ia tidak mungkin senaif itu berpikir kalau pria ini tidak akan meminta haknya sebagai suami.

"Kau tentu tidak mau aku mencari wanita lain untuk menyalurkan kebutuhan biologisku, kan?" tanyanya masih dengan nada datar.

Benar. Felicia mana mungkin mau suaminya kelak menuntaskan hasratnya dengan wanita lain mana pun. Tapi—

"Kau juga tidak boleh menjalin hubungan dengan pria mana pun. Bila memang sekarang kau punya kekasih, kau harus meninggalkannya."

Felicia terdiam. Ia tidak memiliki kekasih. Tapi ia sedang tertarik pada seorang pemuda. Kelvin, pemilik toko mebel di samping toko orangtuanya yang baru buka dua bulan lalu.

"Aku butuh istri yang setia."

Felicia terpaku. Setia! Ia diharuskan menjadi istri yang setia.

"Bagaimana? Setuju?"

Felicia terdiam dengan benak yang terus berputar.

"Saya masih banyak pekerjaan, Nona. Jika Anda bersedia, saya akan segera menuliskan cek, tapi jika tidak, mohon segera tinggalkan ruangan ini."

Setiap kalimat itu diucapkan dengan dingin dan formal. Felicia menatap pria itu, yang juga sedang menatapnya.

Jantung Felicia mencelus. Apa yang harus ia katakan?

Felicia tentu saja tidak siap melepas masa lajangnya dan menikah dengan pria yang selama ini hanya ia kenal lewat koran dan majalah. Tapi ia sangat membutuhkan uang itu! Dengan cara apa pun, ia harus segera mendapatkannya, dan Felicia tahu tidak ada cara lain lagi. Tidak ada orang bodoh atau tidak waras yang bersedia memberinya pinjaman sebanyak itu. Sedangkan untuk meminta tolong pada kerabatnya, Felicia tidak berani. Bukan hanya kemungkinan orangtuanya akan tahu, tapi juga ia tidak mau merepotkan siapa pun atas kesusahan mereka. Kerabat mereka sudah cukup banyak membantu dan Felicia tidak mau semakin merepotkan lagi.

Pria itu mengangkat sebelah alisnya dan menatap Felicia dengan tak sabar.

"Baiklah..., saya setuju..., tapi saya juga ada syarat," ucap Felicia dengan jantung berdegup kencang. Ia sudah tidak punya pilihan.

"Apa syaratmu?"

***

bersambung...

suka? penasaran? jangan lupa vote dan komen ya, kawan2. thank you all.

Loveee,

Evathink

(IG : evathink)

*repost, 18 maret 2019














Bukan Istri Bayaran [Tamat]Where stories live. Discover now