1.3












-----

Sebab, aku cuma anakmu
bukan pengganggu
bukan pembawa sial
bukan beban
bukan si goblok
bukan si lamban
bukan si penyakitan
bukan tempatmu melampiaskan amarah
bukan boneka yang dikendalikan agar menuruti semua keinginanmu.

Aku cuma anakmu.



















                SEGELAS air mengaliri tenggorokan. Sejuk. Ketenangan tidak bertahan lama, tiba-tiba kepala Judith pening mendengar tangisan yang melengking. "Kenapa nangis terus, sih?! Gue udah lahirin lo! Lalu apa lagi yang lo mau?!"

Dari dapur Judith menuju ke kamar. Tidak berniat melihat sebentar bayi malang yang telentang di atas tikar yang dibentangkan di ruang tamu. Bayi yang belum diberi nama itu menangis dan perempuan gila yang menjadi ibunya menuli. Buru-buru mengambil ponsel yang tertindih di bawah bantal. Dia butuh teman bicara.

Ketika panggilan telepon tersambung, Gea dikejutkan oleh suara tangisan bayi. "Lo udah lahiran?"

"Iya." Jawaban singkat. Judith tidak tertarik menceritakan lebih lanjut.

"Wah, selamat! Gue ikut bahagia." Gea bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Simpan aja ucapan selamat itu buat orang lain. Bentar lagi anak ini gue buang!" Kekesalan Judith membumbung. Ini bukan hal membahagiakan baginya yang layak diselamati.

"Bikin anak mau, ngerawat anak nggak mau." Gea tidak ingin repot-repot memperhalus sindirannya.

"Gimana caranya supaya anak ini tenang? Akan lebih baik kalau dia terlahir bisu." Di mata Judith, seorang bayi terlihat seperti monster kecil pengganggu.

"Lo udah nyusuin dia?"

"Nggak mau!" tolak Judith.

Gea mengurut pangkal hidung. Sadar betul sedang menghadapi siapa-manusia egois dan keras kepala. "Dia nangis karena lapar. Lo harus nyusuin dia."

"Gampang. Ada air keran."

"Betina sinting!" seru Gea.

"Santai. Lagian anak itu belum mati." Garis bawahi "belum".

"Tunggu!" Baru saja ide gila masuk ke kepala Judith. "Kalau gue biarin kelaparan beberapa hari, dia pasti mati."

"Dith, hasrat membunuh gue lagi tinggi banget."

"Kirain hasrat seksual." Mempermainkan perasaan teman yang sedang marah, sangatlah menyenangkan.

"JUDITH!!!!!"

"Kalau lo segitu pedulinya, kenapa nggak lo aja yang ngerawat dia?" tawar Judith.

Sunyi. Gea sedang berpikir.

"Gimana?" Judith butuh jawaban sekarang.

"Gue mau. Mau banget. Tapi—"

"Sudah! Sudah!" Mendengar kata "tapi", berarti penolakan.

Gea sangat mau tetapi belum siap secara mental dan finansial.

Lain halnya dengan pasangan suami istri, yang makin berbahagia setelah kelahiran anak pertama.

Tidak berlebihan bila dikatakan Belinda perempuan yang sangat beruntung. Dalam daftar keberuntungannya, nama Julio juga ikut tercatat. Selama ada pria itu, dia tidak perlu khawatir akan dibiarkan sendiri. Sendiri dalam arti tidak memiliki seseorang untuk diandalkan.

1%Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang