La Familia

66 9 3
                                    

Baru saja bangun, kucari asal suara tangisan itu. Panjang memekik dan geraman-geraman petir bersatu, membuat atmosfer yang tak begitu baru.

Sekali dua kali, mungkin akan takut. Namun setiap malam di rumah baruku, selalu terdengar suara-suara berderik, senandung sendu, auman serigala, sebut saja semua yang membuat bulu kuduk merinding.

Kadang saat kucoba menghampiri suara gemericik air hujan dari atap yang bocor, tiba-tiba saja ada yang mengagetkanku dari belakang, suara tawa anak-anak kecil.

Setelah gangguan-gangguan suara mereka hilang tak terdengar, aku menoleh ke arah atap yang bocor dan seketika semuanya berubah seperti semula. Tak ada yang rusak, dan hujan pun berhenti.

Ya begitulah, kejadian-kejadian yang kualami tak selalu menakutkan. Kadang mereka memperbaiki perabot yang rusak, suatu hari mereka pun mengisi penuh kulkas dengan makanan.

Aku sudah tak punya rasa risih ataupun ragu, makanan yang selalu mereka berikan secara gratis membuatku kenyang, itu sudah cukup. Tak pernah sakit, mual ataupun muntah.

Perlakuan mereka seperti keluarga terhadapku. Tak punya ayah untuk menambal pipa rusak, tak masalah, ada anak-anak itu. Tak punya ibu yang memasak, di atas meja tiba-tiba muncul satu hidangan lengkap, tepat saat aku merasa lapar.

Rumah ini seakan tahu apa yang aku inginkan. Cintaku terhadap makhluk-makhluk tak kasat mata melebihi orang tua angkat, yang mewarisiku dengan bangunan reot ini.

Rasanya seperti orang tuaku belum mati. Semua masih disini, keluarga besar dari kakek, paman, keponakan-keponakan kecil yang suka berlari di tengah malam, adik kecilku yang selalu menangis, mereka semua keluargaku.

Namun hari itu, saat aku beranjak dari kasur empuk, ada ketukan dari balik pintu yang serasa berbeda. Nadanya tak seperti biasa... ini bukan keluarga.

Benar saja, di depan pintu masuk aku disapa oleh dua polisi bersenjata. Dua pria ini menanyakan dimana rumah Tuan Jared.

Tak pernah aku dengar nama itu. Hanya dengan gelengan kumenjawab, mereka tak kubiarkan masuk.

Salah satu opsir bertanya kembali, siapa namaku dan dengan siapa aku tinggal. Hanya kutatap saja matanya, orang tua angkatku dulu mengajarkan untuk tidak percaya ke orang yang tak dikenal, aku tak mengenal kedua orang ini.

Bisa saja mereka menyamar dan ingin menculikku, bahkan pikiranku tertuntun ke arah yang lebih buruk.

"Nona, kami tak ingin berbuat jahat, kami ini polisi." Si pria lain yang agak gendut menyahut.

Kuteguhkan niat agar mereka segera pergi setelah tak mendapat jawaban. Namun prosedur polisi mungkin agak berbeda dengan apa yang kupikir akan terjadi.

Mereka merubah raut muka seketika, menerobos dengan kuat. Badanku tak sanggup menahan dua pria itu. Jatuh tersungkur, aku mencoba untuk berdiri, dengan badan sempoyongan.

Para opsir ini mengecek seluruh sudut rumah dengan hati-hati. Kadang menodongkan pistol saat menaiki tangga ke lantai dua.

Si opsir gendut menanyakan siapa yang menjagaku, ia tak terlihat agresif. Dia lebih lembut saat berbicara daripada si jangkung.

Masih terdiam, aku tak mau para polisi ini tahu, bahwa rumah ini adalah satu-satunya keluargaku. Entah tertawa, atau dijebloskan ke panti orang gila, saat itu aku terlalu takut untuk berucap.

Ia mengeluh karena tak dapat jawaban, lalu si opsir gendut mengajak temannya pergi, meninggalkanku sendiri di rumah.

Sesaat setelah aku berpaling dari pintu depan yang tertutup rapat, angin dan petir mulai menyambar. Listrik yang tadinya menyala, sekarang mati. Seperti biasa, aku tak merinding, hanya ingin segera ke kamar, meneruskan novel yang kubaca, sambil tiduran.

Rumah pun mulai bergetar hebat saat aku menaiki tangga menuju kamar di lantai dua, seolah hidup dan ingin berjalan. Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya.

Entah apa yang terpikirkan saat itu, pekikan suara dari rongga mulutku terdengar begitu kencang. "STOOOOOOOOOOP!" Menyuruh rumah untuk berhenti gerak.

Tak mau mendengarkan perintahku, malah semakin keras bergetar. Sangat-sangat hebat, seluruh perabot beterbangan ke sana-sini. Tubuhku terhempas naik, saking paniknya hingga gerakan di sekitarku kian melambat.

Belum memahami hingga saat aku menulis catatan ini, apakah saat itu memang semuanya bergerak secara lambat.

Suara nanyian-nanyian sendu nada seriosa, diiringi piring dan beberapa pecahan kaca beterbangan di hadapanku. Televisi, kulkas, lemari, sofa, dan semua perabotan ikut bergerak, terbang ke sana kemari.

Tubuhku masih melayang, namun tak kunjung menyentuh langit-langit. Saat itu aku pun mencoba memejamkan mata dan menangis, tak tahu apa yang terjadi.

Beberapa saat setelah kubuka mata, semuanya kembali normal. Anehnya sekarang, seperti terpaan angin kencang, sesosok orang berambut panjang tak terlihat raut mukanya, melewatiku di lorong.

Secepat kilat sosok itu lewat, meninggalkan harum wangi bunga yang belum pernah kucium sebelumnya.

Nada tertawa familiar yang biasa kudengar saat ada pipa atau atap bocor, muncul berpindah-pindah tempat di sudut rumah.

Aku tersenyum senang karena mereka kembali, dan pada saat aku menatap di sudut tepat di mana suara itu terdengar, tiga sosok anak kecil dengan muka pucat dan seringai gigi taring, menatapku seksama.

Mereka berlarian mengitari sebuah lampu hias yang berdiri di sudut ruang tamu. Raut muka senang dengan tatapan mata girang terkunci kepadaku.

Agak aneh, kepala mereka bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat layaknya burung hantu, menatapku dengan tubuh yang masih berlari.

Aku sedikit kaget namun tiba-tiba meneteskan air mata senang. Tak tahu perasaan dari mana, anak-anak itu berlari menuju tempatku berdiri, kupeluk mereka dengan erat, karena akhirnya aku tak sendiri lagi.

Senang rasanya mempunyai teman kasat mata di rumah ini. Kami berempat lalu memutuskan untuk bermain, petak umpet, tag, aku belum pernah sesenang ini beberapa tahun belakangan. Rasanya semua bebanku hilang, ringan sekali.

Sekarang setelah aku bisa melihat sang penyanyi, manusia serigala yang suka menggonggong di halaman rumah, bayi mungil pucat dengan rahang yang tak bisa menutup, dan seorang pria kurus dengan tangan panjang menjuntai yang suka merusak langit-langit dan perabot, aku merasa bersyukur.

Terima kasih keluargaku, selalu menjaga rumah ini dan aku si penunggu. Sejak saat dua polisi masuk ke rumah kami, tak ada satu pun orang yang berani mengetuk pintu.

Siang dan malam, tak ada lagi orang ataupun kendaraan yang melewati jalan depan rumah. Aku pun beberapa tahun terakhir juga tak pernah keluar dari pintu depan, toh semua yang kupunya ada di sini.

Namun betapa bodohnya aku, ketika merasa bahwa kami baik-baik saja. Tak berapa lama setelah kedamaian kami rasakan, beberapa orang dengan baju aneh memasuki pintu, kaca ruang makan, dan segala lubang rumah yang bisa dilewati.

Orang-orang itu memakai seragam yang sama, baju terusan dengan penutup kepala kaca bulat. Seperti astronot namun berbeda, mereka bisa melihat keluargaku, dan memaksa kami masuk ke dalam sebuah kerangkeng besi yang sempit.

Kami ditangkap dan di bawa ke sebuah tempat bersih, tak ada noda sedikit pun di tembok-tembok tempatku berdiam hingga saat ini. Semuanya putih, dengan lampu-lampu neon menemani setiap hari.

Beberapa makhluk yang tak berwujud manusia juga ditempatkan di dalam penjara kaca, sama sepertiku sekarang. Bedanya, mereka memberiku pena dan buku kosong untuk menulis. Aku bahkan meminta untuk dibawakan beberapa novel favorit dan mereka memberikannya.

Salah satu yang membuatku sedih sekarang hanyalah perpisahan. Aku tak tahu di mana keluargaku sekarang, apakah mereka di dalam kerangkeng kaca satu fasilitas denganku? Aku tak pernah melihat mereka lagi setelah kejadian malam itu, saat mereka menangkap kami.

Ya, mungkin segitu saja cerita yang bisa kusampaikan. Mungkin nanti saat aku bosan lagi, akan kutambah beberapa catatan. Namun saat ini sudah cukup.

Ellie.

-- If you like the story, don't forget to vote! --

Kilasan FantasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang