10

13 1 0
                                    



Bagaimana aku harus merangkai kata? Menuliskan dengan sembarang walau nantinya tak layak untuk dibaca? Ataukah hanya cukup dengan melihatmu?

Perihal jatuh cinta kenapa jadi puitis sekali?

Sekitar pukul empat sore, materi pertama untuk peserta one day training dimulai. Kebetulan aku bertugas di bagian konsumsi, karena memang saat ini belum ada yang dikerjakan, aku, Syifa dan dua orang anggota osis lain ditugaskan untuk menjaga ruang kelas yang menjadi tempat istirahat para peserta---di mana semua tas milik peserta ada di sana, karena seperti yang aku bilang tadi, saat ini mereka semua sedang diberi materi di aula.

Masing-masing diantara kami menjaga satu ruangan. Aku dan Syifa di area perempuan, sedangkan dua orang lainnya berjaga di area laki-laki.

Ku buka pintu ruang kelas yang aku jaga, kemudian mengambil kursi dan duduk di depan pintu sembari memainkan benda pipih yang hampir setiap orang punya.

Aplikasi Spotify menjadi tujuanku, memutar lagu-lagu dari dewa 19 juga Once Mekel. Hanya untuk menenangkan pikiran, memasang earphone dan memejamkan mata hingga sedikit hilang kesadaran.

Satu menit berlalu, mataku kembali terbuka akibat suara jendela kelas yang tertutup kencang. Aku masuk ke dalam, memeriksa barangkali ada kucing yang masuk, tapi tidak ada apa-apa di sana. Ku pikir angin, dan aku tidak lagi memperdulikannya.

**

"Makanan untuk peserta udah siap, kapan mau dibagiin?" kata Syifa yang baru saja menghampiriku

"Udah ada di ruangan kayanya, mungkin ba'da maghrib nanti dibagiin."

Dari arah pandanganku, sinar jingga mulai muncul perlahan, hilang juga perlahan. Sebagian orang menyukai hal indah itu, sampai terlena, sampai lupa bahwa yang indah itu hanya sementara.

Sebagian pecinta senja kerap kali kecewa jika matahari tidak terbenam dengan indah. Apalagi kalau sebabnya karena mendung, lalu hujan. "Yah mendung," "Yah, hujan." Begitu kiranya. Seperti tidak terima dengan hadirnya mendung dan hujan.

Padahal hujan juga indah, padahal mendung juga tidak kalah menenangkan. Kalau memang mereka betul-betul menyukai langit, harusnya bisa menerima segala keadaan langit.

"Sholat woy, udah iqomah."

**

"Informasi kepada seluruh peserta One Day Training, dimohon untuk segera berkumpul di lapangan."

Aku keluar dari ruangan Osis begitu mendengar informasi tadi. Jika dilihat di rundown, sekarang masih waktu istirahat.

"Ada kegiatan tambahan? Kok nggak ada kordinasi ya?" tanyaku pada anggota Osis lain yang ada di depanku.

"Aku juga nggak tau, ngikut aja deh."

Sekitar sepuluh menit kemudian seluruh peserta sudah berbaris di lapangan. Sang ketua osis menyuruh kami–para panita–untuk memposisikan diri berjaga melingkari barisan para peserta.

"Kami akan lakukan penggeledahan, barusan kami mendapat informasi bahwa ada salah satu peserta yang kehilangan uang kas kelasnya, dan jumlahnya tidak sedikit. Jadi, jika di antara kalian tidak ada yang merasa mencuri, harap tenang dan tetap di tempat."

Fauzan dan wakilnya, beserta guru pembina osis pergi menggeledah ke seluruh ruangan kelas yang dijadikan tempat istirahat, sedangkan kami tetap berjaga-jaga mengawasi para peserta.

Setelah ku amati, rupanya hanya Sofia sendiri yang sedang duduk di dekat ruang guru–menangis–ditemani salah satu pemateri acara ini. Dapat aku simpulkan, bahwa yang kehilangan adalah dia.

Mataku mencari Azzam, sekedar ingin melihat raut mukanya saat terjadi hal seperti ini menimpa seseorang yang ia kenal, dan aku cemburui.

Ternyata tidak ada gerak-gerik cemas yang berlebihan, aku tidak jadi cemburu. Lagipula mengapa harus cemburu. Duh! hati ini merepotkan sekali.

30 menit berlalu, penggeledahan selesai, namun kami semua masih di posisi yang sama.

"Udah ketemu belum pelakunya? Ngerepotin banget! Sempet-sempetnya nyuri." kata salah satu peserta.

"Ruang osis juga dong digeledah, ya kali peserta doang!" ucap peserta lain.

Orang-orang di depan sana saling berpandangan, sejurus kemudian menyetujui untuk menggeledah ruangan osis–tempat di mana kami selaku panitia menaruh barang-barang kami.

Para peserta sudah diperbolehkan untuk kembali beristirahat, hanya kami yang masih di lapangan. Mungkin ada beberapa peserta yang turut menyimak penggeledahan di ruang osis, barangkali kepo, barangkali penasaran, atau barangkali memang tidak ada kerjaan saja.

Sofia di undang untuk turut masuk ke ruang osis, kemudian kembali keluar bersama tim penggeledahan. Mereka membawa satu tas ransel ke arah kami, tapi tunggu, mengapa bisa?

"Saya tidak tahu kenapa di antara kita bisa-bisanya melakukan hal ini!" seru Fauzan, semua terdiam.

"Ini milik siapa?" lanjutnya

Aku seperti tersudutkan, yang Fauzan bawa adalah tasku, dan aku tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi.

Aku masih syok, aku bingung.

"Ra, kok bisa?" tanya Syifa, ia menggerak-gerakkan lenganku.

"Haura, bisa dijelaskan?" kata Fauzan

"Bukan aku, aku bukan pencuri," ucapku tegas

"Tapi ini maksudnya apa?"

"Halah, mana ada maling ngaku!" salah satu peserta yang daritadi ikut menyimak itu mulai mengompori.

"Ih nggak nyangka ya, padahal kelihatan alim banget," samar-samar aku mendengar mereka mulai percaya dengan hal mengejutkan ini.

"Diem-diem ternyata kelakuannya nggak banget."

"Padahal keliatan kaya orang bener."

"Udah sih nggak usah sok drama, udah ketangkep basah juga!" orang itu berteriak lagi.

"Kita selesaikan di ruang osis, yang tidak berkepentingan silahkan kembali melanjutkan aktivitas masing-masing." kata Fauzan.

Aku tertunduk lemas, masih tidak percaya. Aku tidak mencuri, tapi entah kenapa dompet Sofia yang berisi uang kas kelasnya itu ada di dalam tasku. Lebih mengejutkan lagi, ternyata uangnya sudah tidak ada, hilang entah di tangan siapa.

~

nanti dilanjut lagi, tungguin yak

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ada Hati Yang Dipaksa MatiWhere stories live. Discover now