6 | Melatih Hati

42 11 0
                                    



Pagi-pagi sekali, sebagian siswa di kelasku sedang disibukkan oleh tugas gambar yang belum kelar. Tentunya hal ini bukan menjadi hal baru lagi, ini sudah biasa terjadi, bahkan hampir setiap hari ... kegiatan pagi di kelas kami memang seperti ini.

Ada yang menggambar dengan tenang di mejanya, ada juga yang mangkir ke meja orang lain. Ada yang dengan khusyuk menggoreskan pensil di medan gambar, ada juga yang sibuk mengelap penggaris dengan tisu.

"Gila!"

Aku menoleh ke sumber suara, ternyata Daffa yang berteriak memaki gambarnya.

"Kenapa lo?" tanya kawan sebangkunya—Hafiz.

"Emang udah gila tuh guru!"

"Daf, yang sopan sama guru!" tegur Azzam yang duduk di depannya.

"Sorry, Zam, abis itu guru nggak ada sopan-sopannya ngasih tugas ke murid. Ya kali gambar segini banyaknya harus selesai dua hari!"

Termasuk Daffa mengomeli tugas gambar juga sudah jadi hal yang biasa, padahal yang dia katakan memang ada benarnya juga. Tapi, dua hari itu tidak benar-benar dua hari, kami masih bisa melanjutkan menggambar pada saat jam pelajaran tersebut. Hanya saja, yang tidak mengumpulkan tugas dalam waktu yang ditentukan ... nilainya tidak lebih tinggi dari siswa yang mengumpulkan tugas tepat waktu.

"Ra," kudengar suara Daffa memanggilku yang sedang mengoreksi hasil gambarku sendiri.

"Apa, Daf?"

"Lo udah selesai ya? pinjem buku gambar lo dong."

"Buat apa?"

"Mau liat ukurannya doang, gue udah pusing nih liat di contoh selembaran begini, jadi lama."

"Jangan sampai kotor ya!" peringatku.

Kata guru mata pelajaran produktif kami, dalam menggambar itu tidak boleh jorok, tidak boleh kotor atau sampai terlipat-lipat kertasnya. Jadilah kami sebagai murid sangat sensitif pada gambar. Sebagai contoh saja, penggaris harus selalu dalam keadaan bersih, harus sering di bersihkan setelah menggambar. Bahkan bekas coretan yang dihapus saja, itu sudah sangat mengganggu bagi siswa jurusan arsitekture, jadi saat awal menggambar, diusahakan garisnya harus tipis terlebih dulu. Memang agak ribet, namun menurutku itu tantangan.

Pernah saat kelas 10, buku gambarku jatuh saat ingin aku taruh di kantor guru, kemudian tanpa sengaja diinjak oleh seseorang. Ingin marah, namun ini bukan kesengajaan, orang itu pun sudah meminta maaf, tapi saat itu hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Aku hanya bisa diam, kemudian kembali menggambar ulang.

"Haura, Sorry!"

"Ra, maaf, aku yang salah."

Aku kembali terdiam, kembali merasakan kejadian itu lagi dalam kasus yang berbeda namun pedihnya tetap sama. Buku gambarku basah.

••

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi."

Aku memaknainya dengan seperti ini, apapun yang terjadi dalam kehidupanmu artinya harus kamu senangi itu. Entah pahit ataukah getir, karena manusia sama sekali tidak tahu apa hikmah yang akan terjadi di balik itu semua.

Jalan satu-satunya adalah ikhlas. Memang tidak semudah berucap, tapi harus dicoba. Menolak kejadian yang sudah terjadi hanya akan menyakiti diri sendiri, hati jadi panas, dan yang timbul hanyalah amarah, ketidak terimaan, hingga menjadikan kita sebagai hamba yang kurang bersyukur.

Ada Hati Yang Dipaksa MatiWhere stories live. Discover now