4 | Menunggu

36 10 0
                                    



Bel pergantian jam kedua terdengar sangat jelas, menyelusup indra pendengaranku yang berbalut jilbab. Di sekolah ini, setiap kelas dan di sudut-sudut sekolah memang dipasang speaker, agar di manapun siswa-siswi berada, bisa mendengar berbagai pengumuman yang bersumber dari ruang guru—entah bel pergantian jam, bel masuk dan istirahat, atau apapun itu.

"Udah woy, bubar-bubar!" kata seorang murid laki-laki yang bangun dari duduknya setelah cukup lama berada di adegan nonton bareng itu.

"Lagi seru-serunya nih, padahal tanggung itu," kata murid yang berada di paling belakang kerumunan.

"Nanti ketahuan guru, baru tau rasa! Sayang nih laptop gua kalau tiba-tiba disandera gara-gara dipake buat nobar," omelnya.

"Padahal lo juga yang ngajak kita buat nobar," cetus murid yang kini sudah berada di bangkunya.

Murid yang lain pun mulai kembali ke tempat duduknya masing-masing, walau ada saja yang mengumpul di belakang untuk mengobrol, ataupun berjalan-jalan ke depan kelas.

"Yang piket hari ini siapa?" tanya Azzam pada seluruh penghuni kelas.

Seluruh siswa mengalihkan fokus pada Azzam sesaat, lalu berakhir dengan saling tuduh-menuduh.

"Daffa tuh, Zam," kata Lulu—murid cantik yang duduk di belakangku.

"Kok Daffa sih, kamu kali beb. Aku lihat tadi pagi kamu nyapu," ujar Daffa sedikit menggoda.

"Apaan sih, bab-beb, bab-beb, nanti cewek lo ngelabrak gua, nggak mau!"

"Ayo, Daf, ke ruang guru sama saya," ajak Azzam yang langsung membuat Daffa menoleh ke arahnya.

"Okeh, Pak Ketu."

••

Sekitar 10 menit lamanya, Azzam dan Daffa sudah kembali lagi ke kelas. Di tangan Azzam terdapat sebuah buku bahan ajar kepunyaan guru yang harusnya mengajar di kelas kami saat ini. Tapi sepertinya, beliau tidak akan masuk kali ini.

"Teman-teman, mohon perhatiannya. Hari ini Ibu Dian tidak masuk, tapi ngasih tugas mencatat. Jadi, sekretaris mohon tuliskan di papan tulis ya," ujar Azzam.

"Ayo, Haura apa Syifa?" lanjutnya sembari melihat ke arahku dan Syifa yang kebetulan se-meja.

"Kamu aja, Ra," bisik Syifa.

Seolah terhipnotis oleh bisikan Syifa, aku langsung maju ke depan kelas untuk mencatat di papan—lebih tepatnya keramik yang ditempel di tembok—sebagai ganti dari papan tulis.

Iya, papan tulis sudah tak lagi ada di sekolah ini. Wakasek bagian sarana dan prasarana rupanya berinisiatif untuk menghemat. Dengan dipasangkan keramik sebagai ganti dari papan tulis, jadi tak lagi ada kelas-kelas yang meminta ganti papan baru jika sudah rusak.

"Ini, Ra, dari bab satu sampai bab 3, di rangkum," titah Azzam. Aku hanya mengangguk sebagai tanda bahwa aku paham.

Azzam kembali berjalan ke tempat duduknya, namun baru beberapa langkah ia berhenti dan langsung menoleh ke arahku. Tentu saja karena aku panggil.

"Spidolnya udah habis, ada gantinya nggak?" tanyaku.

"Kayaknya nggak ada deh, Ra, sini biar aku isi aja di TU," ucap Azzam, tangannya terulur meminta spidol yang ada di genggamanku.

Ada Hati Yang Dipaksa MatiWhere stories live. Discover now