32 - Akhir Segalanya? (2)

16 3 2
                                    

"Lepasin Mola, A Richal. Tangan Mola sakit," pinta Mola dengan isak tangis yang tak kunjung reda. Pribadi Richal yang sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Dirinya sekarang sangat kejam dan tak memiliki hati nurani sedikit pun.

Richal mengikat kencang pergelangan tangan Mola, sampai cairan merah membasahi tali tambang yang digunakan. Cowok berjubah hitam itu hanya tertawa memperhatikan Mola yang sudah tak berdaya. Tak jarang juga ia melayangkan tamparan keras pada pipi Mola dan membiarkan Ammara menjadikan gadis mungil itu sebagai kelinci percobaan.

"Richal, sadar! Gue Zevan, sahabat lo! Lo Richal, sahabat gue yang paling baek sedunia!"

"Bacot!"

Kesadaran Zevan perlahan mulai menghilang, setelah Richal sengaja memukul bagian belakang kepalanya dengan kayu balok yang tak sengaja ia temukan di lantai atas. "Gara-gara bokap lo, bokap gue meninggal dan nyokap gue bunuh diri!" bentak Richal seraya mengikat pergelangan tangan dan kaki Zevan dengan tali tambang yang sudah ia siapkan.

"Arggghhh!"

Richal melampiaskan semua kekesalannya pada wajah tampan Zevan yang kini masih tak sadarkan diri. Cowok itu melayangkan beberapa pukulan saat mengingat masa-masa indahnya bersama Ayah, Bunda, dan Rachel untuk terakhir kalinya. Semuanya sudah musnah. Tak akan ada lagi canda dan tawa yang mewarnai kehidupannya. Kini hanya ada dendam yang harus segera terbalaskan.

"Ugo, seret semua orang yang udah gue iket ke rooftop. Nanti gue nyusul!"

"Siap, Chal! Temen lo yang pake kacamata tadi berhasil kabur dari sini."

"Edwin belum tahu siapa Richal sekarang, ya? Hahahaha ...."

***

"Gak boleh ada yang tutup mata!"

"Kalo ketahuan, gue tembak lo semua sekarang juga!"

Richal menodongkan pistolnya tepat di kepala Ghani yang terduduk di atas kursi. Cowok beriris hitam pekat itu tertawa sinis, memandang remeh mantan sahabatnya yang tak bisa berbuat apa-apa karena kondisi tangan dan kakinya yang terikat.

"Gue tembak sekarang aja atau nanti?" tanya Richal seraya memandang langit yang berhamburan bintang dari atas gedung tua milik kakeknya itu.

"Jangan, A Richal!"

Richal menoleh pada seseorang yang baru saja berteriak. Mola, si gadis malang yang sudah pasrah dengan nasib yang akan menimpanya nanti. Cowok itu mengangkat bahunya tak acuh dan kembali memposisikan senjatanya seperti semula.

Dor!

Tubuh Ghani tumbang seketika. Darah yang mengucur membuat Richal tergelak dan kembali menarik pelatuknya ke arah Vina yang tengah menangis memperhatikan nasib suaminya yang sangat mengenaskan. Hanya memerlukan waktu satu detik, Vina terjatuh di atas pelukan sang suami yang sudah tak bernyawa. Saatnya kini, wanita paruh baya itu yang mengembuskan napas terakhirnya.

"Papa! Mama!" teriak Zevan tanpa ada suara yang keluar.

Cowok itu menangis dalam diam. Tak kuasa menerima semua kenyataan yang sangat melukai hatinya. Memalingkan wajah, menatap sang pujaan hati yang kini meraung karena kepergian kedua mertuanya di hari yang sama. Sungguh, Mola baru saja ingin lebih dekat dengan Ghani dan Vina. Akan tetapi, Allah lebih dulu mengambil nyawa kedua orang baik itu.

Dengan sisa tenaga, Zevan mencoba untuk membuka ikatan tali tambang itu dari tangan dan kakinya. Ia tak tega menatap tangan Mola yang sudah dipenuhi darah kental lantaran luka yang masih basah ikut tergesek-gesek dengan tali tersebut. Mencoba menggunakan gigi sebagai pengganti gunting. Memerlukan waktu yang agak lama, hingga tali tersebut pun terlepas bebas. Zevan langsung membantu sang istri yang terduduk lemas di sampingnya.

"Akhirnya, dendam orang tua gue terbayar lunas, Go."

Richal merentangkan kedua tangannya sembari menghirup sejuknya angin malam. Mengikis jarak, hanya menyisakan jarak sejengkal agar dirinya tak terjatuh ke tanah hutan. Ugo dan Ammara menoleh bersamaan. Mereka berdua tersenyum manis dan mengangguk serentak. Melangkah perlahan dan mengapit Richal yang tengah terpejam.

"Thanks udah mau bantuin gue. Masalah biaya, gampang. Lo tinggal bilang mau berapa, entar gue kasih dah," terang Richal santai seraya melangkah sedikit ke depan. Kedua kakak-beradik itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis ke arahnya.

"Aaaaaaaaaaa ...!"

Tubuh Richal melayang di udara saat ada seseorang yang sangaja mendorongnya. Badannya terasa remuk saat bersentuhan langsung dengan tanah. Kepalanya terbentur batu besar yang tergeletak sembarangan di bawah sana. Detik berikutnya, mata Richal tertutup sempurna saat mengembuskan napas terakhirnya.

“Akhirnya, dendam gue juga terbalaskan, Chal. Gak salah gue terima ajakan lo tadi sore.”

“Papi, sekarang anak si brengsek itu udah mati di tangan Ugo, Pi. Ugo berharap kita masih bisa berkumpul bersama setelah Papi keluar dari penjara.”

“Tapi Tuhan berkehendak lain. Papi udah pergi duluan ninggalin kita. Selamat tinggal, Pi. Semoga bahagia di alam sana.”

"Jangan ada yang bergerak! Angkat tangan semuanya!"

*

*

*

TAMAT!

Wih, beneran ini sampe akhir novel. Makasih banyak sudah menjadi pembaca dan pendukung setiaaaa. Ada hadiah EXTRA PART buat kalian. Penting banget, wajib kalian baca! Karena di EXTRA PART bakal terungkap kenapa sikap Ferdi berubah 180°.

Makasih banyakkk 😍

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang