12 - Perkara Ayam Goreng

31 11 1
                                    

🔹🔸🔹🔸🔹Bismilllah🔸🔹🔸🔹🔸

Selamat membaca

Jangan lupa vote dan komen, ya

🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹

Seorang gadis cantik bergamis biru dongker dengan telaten menyuapi bubur ayam pada pria paruh baya yang duduk di atas brankar. Setiap detik, ia selalu memancarkan senyuman yang sangat manis bagi siapa saja yang melihatnya. Hatinya sangat senang lantaran bapaknya masih diberi kesempatan hidup bersamanya sampai saat ini.

"Udah, Li. Bapak udah kenyang."

Mola menggangguk dan melirik semangkuk putih polos berbahan keramik yang dipegangnya. Hanya sedikit lagi bubur tersebut akan habis, tetapi perut Dedeng sudah tidak sanggup lagi menampungnya. Tidak mengapa, Mola tidak mempermasalahkan hal itu. Intinya saat ini ia sedang berbahagia, walaupun harus melewati deraian air mata sebelumnya.

Mola melangkah mengitari ranjang pasien dan menaruh mangkuk itu di atas meja kecil yang tersedia di ruang rawat inap VIP ini. Lalu, ia berjalan kembali untuk duduk di kursi yang terletak di samping kanan brankar. Mola memegang tangan Dedeng dan mengecupnya berkali-kali. Sungguh, rasa takut menghantuinya jika takdir benar-benar memintanya untuk berpisah dengan bapaknya.

"Teh Naya mana, Li?" tanya Dedeng seraya mengusap kepala anaknya yang tertutup hijab berwarna hitam polos.

Mola meletakkan kepalanya di tepi brankar sembari memejamkan matanya. Menikmati setiap belaian tangan bapak tercinta. "Teh Naya lagi di kantin sama Ibu, Pak." Dedeng mengangguk, mengiyakan jawaban Mola. Wajar saja jika kedua Ibu dan anak itu tengah berada di kantin. Sebab sedari pagi, mereka berdua belum sarapan apa pun.

Berbeda dengan Mola. Ia tak pernah absen untuk menikmati pecel buatan Nyai Siti. Kebiasaannya sebelum berangkat sekolah, gadis berkulit putih bersih itu selalu mampir ke rumah neneknya Zevan untuk sarapan di sana. Maka dari itu Nyai Siti dan Mola terlihat sangat akrab. Sudah terlihat seperti nenek dan cucu kandung saat berinteraksi.

"Li, menurut kamu ... Zevan itu orangnya kayak gimana?"

Pertanyaan Dedeng barusan membuat Mola membeku seketika. Pikirannya melayang-layang. Menerka-nerka sesuatu yang akan terjadi ke depannya. Kenapa saat berdua seperti ini masih saja membahas tentang Zevan? Entah apa yang membuatnya menjadi agak sensitif saat mendengar nama Zevan.

Kejadian semalam tiada hentinya terlintas di pikirannya. Tanpa sadar, setitik benci terhadap Zevan telah tertanam di hatinya. Akan tetapi, ia tak bisa melupakan jasa-jasa keluarga Zevan terhadap dirinya. Hari ini, lelaki itu berhasil menjadi pahlawan dalam kehidupan Mola.

"Baik."

Satu kata yang terlontar dari bibir tipis Mola, menimbulkan ribuan pertanyaan di benak Dedeng. Kenapa hanya satu saja? Apa tidak ada kata-kata lagi selain itu? Kebanyakan orang, jika ditanyakan tentang sifat seseorang, maka akan menjawab lebih dari satu kata. Bahkan, bisa juga sampai satu paragraf jika yang ditanyakan adalah seseorang yang sangat berkesan dalam hidupnya.

"Apalagi, Li? Masa satu aja, sih." Mola menegakkan tubuhnya dan menggeleng menanggapi pertanyaan bapaknya. Lidahnya mendadak kelu. Tak sanggup mengatakan hal apa pun lagi tentang cowok kota yang mampu memorak-porandakan hatinya sampai kini.

"Lo butuh duit berapa?"

"Ngomong sama gue."

"Nanti gue kasih berapa pun yang lo mau."

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Where stories live. Discover now