8 - Mengungkapkan Rasa

41 11 0
                                    

🔹🔸🔹🔸🔹Bismilllah🔸🔹🔸🔹🔸

Selamat membaca

Jangan lupa vote dan komen, ya

🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹

"Kenapa bapaknya bapak Zevan dipanggilnya Bapak?"

Ferdi menengok ke samping. Rasa kantuknya menghilang seketika saat mendengar pertanyaan Richal. Sedangkan Richal tengah mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. Tampaknya ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang hinggap di benaknya.

"Kenapa gak Abah, Kakek, Mbah? Atau ... apalah selain Bapak."

Sepertinya, Ferdi mulai jengah dengan pertanyaan Richal. Tangannya meraba-raba barang yang ada di dalam tasnya. Entah apa yang ia cari. Sampai-sampai sangat bersemangat seperti itu. Ferdi menyalakan senternya untuk membantu penglihatannya. Tak perlu waktu lama, cowok berpipi tirus itu sudah menemukan apa yang ia cari.

"Kenapa bapaknya bapak Bambang namanya Bambang juga?"

"Kenapa anak-anaknya bapaknya bapak Bambang dikasih nama Bambang juga?"

"Kenapa nama-nama cicitnya bapaknya bapak Bambang ada Bambang-nya juga? Contohnya, Richal Setya Bambang sama Rachel Chintya Bambang."

"Dan ternyata itu gue. Gue anaknya Pak Bambang. Terus gue harus nanya ke siapa, Fer?"

"Gue suka nyebut diri gue Bambang. Eh, malah dimarahin sama bokap gue. Katanya gak sopan kalo manggil nama doang ke orang tua."

"Padahal, kan, nama gue juga Bambang. Jadi, gue berhak manggil diri gue dengan sebutan Bambang. Bambang ... anaknya Bapak Bambang."

"Selain bapaknya bapak Zevan, ternyata bapaknya bapak Bambang juga membingungkan."

"Kenapa gak gan—"

Ferdi sudah tak tahan mendengar semua ocehan Richal yang membuat kepalanya mendadak pusing. Cowok itu langsung menyumpal mulut Richal dengan sepasang kaus kaki berwarna putih. Ternyata sedari tadi ia mencari-cari barang itu untuk menghentikan aksi Richal yang mengganggu ketenangannya malam ini.

"Fer, usir si Richal! Kepala gue pusing dengerinnya!"

Ferdi mengangguk patuh menanggapi ucapan Edwin barusan. Cowok itu tahu kalau Edwin terbangun lantaran mendengar suara yang terus-menerus keluar dari mulut Richal. Memang awalnya ia tak mengizinkan Richal untuk menumpang tidur bersamanya. Namun, rasa ibanya muncul ketika Richal memohon-mohon kepadanya agar diizinkan.

Edwin kembali memejamkan mata sembari memijat-mijat kepalanya yang terasa pening. Masih saja terdengar perdebatan di antara kedua remaja itu. Awalnya, ia tak peduli dengan pembahasan Richal dan Ferdi. Namun, kali ini kesabaran Edwin benar-benar diuji. Tunggu saja waktunya tiba saat Edwin meluapkan gejolak amarahnya kepada kedua sahabatnya itu.

"Gue gak mau keluar, Ferdi!"

Ferdi menarik-narik baju Richal agar keluar dari kamar itu. Tinggi badan dan daya kekuatan yang sama, terkadang menyulitkan Ferdi untuk menyeret Richal saat di situasi seperti ini. Sudah sering kali Richal menganggu ketenangannya. Maka ia tak akan segan-segan mengusir Richal saat itu juga.

"Keluar lo! Penganggu kayak lo harus segera dimusnahkan!" teriak Ferdi, tepat di daun telinganya Richal.

"Lo aja sana! Sebagai cicitnya bapaknya bapak Bambang, gue harus mempertahankan prinsip gue yang gak bisa diganggu gugat!"

Richal mendorong Ferdi, hingga tersungkur dan sikunya terbentur dinding. Rasanya sangat sakit, seperti tersengat listrik. Ferdi melemaskan tangannya sembari mengatur napasnya yang tidak beraturan.

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Where stories live. Discover now