Brain Notes - [8]

886 148 10
                                    

-📓-

"Kerja bagus, Elle."

Windy tersenyum tipis lalu membereskan buku-buku di atas meja. Cewek itu berpamitan pada Raras, client tetapnya sejak satu tahun ini. Dia dan Raras berada di angkatan sama, namun Raras bersekolah di SMA Manggala. Windy tahu, SMA itu adalah salah satu SMA favorit si Jakarta.

"Semester ini bakalan sulit banget buat gue," ucap Raras tiba-tiba membuat Windy menghentikan langkah tepat di ambang pintu.

"Kenapa? Bukannya akhir-akhir ini gak ada masalah sama nilai lo?"

Cewek manis itu tersenyum kecut. "Ya, semua itu kan berkat elo. Sebenarnya lo yang cocok sekolah di Manggala, bukan gue yang sebenarnya gak pinter-pinter banget. Gue ngerasa ngelakuin hal yang salah, gue curang."

Windy menghela. "Ras, gue udah sering bilang sama lo kan ... di dunia ini manusia penuh dengan kecurangan. Berbuat curang di sekolah udah terjadi berpuluh tahun lamanya. Bukan cuma elo, banyak siswa di luar sana melakukan semuanya demi nilai, meskipun harus menyontek temen, membuat contekan sendiri di kertas, bahkan ada yang menyuap guru untuk mendapat bocoran soal."

"Lo ngomong kaya gitu karena lo pinter dan---"

Windy menggeleng. "Lo pikir jadi pinter itu mudah? Mereka yang pinter bakalan dapet ekspektasi tinggi dari orang lain, dan mereka juga bakal dapet tekanan yang lebih pula," jedanya. Cewek itu menatap Raras terluka. "Apa bagusnya jadi pinter kayak gue? Gue bahkan nyari uang dengan manfaatin kepinteran gue kan?"

Raras menunduk. "Lo bener, Elle. Sorry gue cuma bisa ngeluh."

"Gakpapa, gue pergi dulu, Ras," jawab Windy lalu pergi dari sana.

📓

Hari ini tubuh Windy luar biasa lelah. Sepulang sekolah hingga malam, ia mendapatkan jadwal penuh di Brain Notes.

Ada satu hal yang membuat Windy sedikit tidak semangat. Hari ini Gading tidak menggunakan jasanya.

Windy menggeleng. Mungkin memang Gading tidak ada tugas atau ulangan untuk besok? Tidak mungkin Gading menggunakan Brain Notes setiap hari kan?

Dengan sisa tenaganya, Windy menyeret tubuhnya untuk memasuki rumah. Cewek itu heran, jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam, tapi di dalam lampu masih menyala terang. Biasanya Bi Darmi selalu mematikan lampu tepat pukul sembilan.

Saat sampai di ruang tengah, tubuh Windy seketika kaku. Cewek itu menatap kaget ruang tengah yang begitu berantakkan. Bahkan ada tetesan darah di lantai yang sudah mengering.

Buru-buru Windy berlari menuju lantai atas. Cewek itu segera membuka pintu kamar mama dan menemukan mama tergeletak dengan mata terpejam di atas kasur. Di sampingnya Bibi tampak pucat dengan lengan diperban, dan ada juga Dokter Saskia.

"Ibu ngamuk lagi, Mbak."

Windy menghela lalu menatap ngeri lengan Bi Darmi. "Mama ngelukain tangan Bibi?"

Wanita paruh baya itu mengangguk. "Tapi gak begitu parah, Mbak."

"Windy minta maaf, Bi."

Bi Darmi mengucapkan kalau beliau baik-baik saja. Namun, Windy tetap saja merasa bersalah. Jika saja ia tidak sekolah dan bekerja, ia bisa membantu bibi untuk mengurus mama.

"Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, Win," kata Dokter Saskia membuyarkan lamunan Windy.

Windy mengangguk dan meminta Bi Darmi untuk keluar.

Brain NotesWhere stories live. Discover now