LMA 23.00

351 93 26
                                    

"Apa? Lo bilang apa barusan, Vin?" tanya Sisi yang belum yakin dengan pendengarannya sendiri. Mungkin saja dia bermimpi, atau mengigau sesaat tanpa dia sadari.

Lalu Avin menatap mata Sisi, mengusap sebelah pipi gadis itu perlahan. Sisi yang sedang membulatkan mata, perlahan memundurkan tubuhnya saat Avin makin mendekat dan refleks Sisi berbaring di atas sofa panjang tempatnya duduk sekarang.

Avin masih menatap lekat kedua mata Sisi. Sedangkan Sisi masih tercengang bersama debaran dada yang sangat kencang. Irama jantungnya berpacu dengan aliran darah yang mengalir cepat. Bersamaan dengan itu tarikan napasnya mulai terasa berat, dia merasa agak sesak ketika paru-parunya memompa dengan frekuensi yang tidak biasa.

Glek.

"Lo masih mau jadi pacar gue? Kurang jelas ya, pertanyaan gue?"

Jadi, itu bukan ilusi.

Mereka masih dalam posisi Avin yang berada di atas tubuh Sisi. Gadis itu membeku, dia bahkan tidak dapat menggerakkan tubuhnya walau susah payah ia berusaha bergerak.

"Lo tinggal jawab. Mau atau enggak."

Sisi meneguk ludah lagi. Lalu Avin makin mendekati wajah Sisi tapi lutut Avin tidak sengaja menyentuh lutut Sisi yang terluka, hingga Sisi mengaduh kesakitan. Avin ikut terkejut, saat tubuh Sisi bergerak refleks dan mereka pun terjatuh dari atas sofa dengan posisi berguling dan Avin berada di bawah Sisi. Hal yang sangat mengejutkan adalah bibir Sisi tidak sengaja menyentuh bibir Avin.

Kedua mata Sisi makin membulat, dia makin sesak napas dengan degup jantung yang terdengar serupa suara drum yang di tabuh kuat.

Begitu juga dengan Avin, mereka sama-sama tercengang sampai lupa menarik diri mereka dan membiarkan bibir mereka saling menyentuh tanpa bergerak sedikit pun.

Sampai akhirnya suara ringtone handphone Sisi berbunyi nyaring membuat Avin dan Sisi sama-sama tersentak, lalu bangun dari posisi mereka dan kembali duduk.

"Gu-gue li-liat du-lu, ya."

Avin berdeham, dia langsung beranjak menuju kulkas mengambil air dingin.

Sisi mengerjabkan mata, dia masih belum bisa mengendalikan deru napasnya yang menggebu selepas kejadian tadi. Sambil menyentuh bibirnya, Sisi juga menatap layar ponselnya. Ternyata itu telepon dari ayahnya. Sisi langsung mematikan panggilan itu dan sekaligus mematikan juga ponselnya.

Avin lalu duduk di samping Sisi, dia memberikan segelas air putih dingin pada Sisi. "Minum."

Sisi mendadak salah tingkah lagi. Tangannya sampai gemetaran waktu hendak memegang gelas. Lalu Avin membantu Sisi memegang gelas dengan menggenggam telapak tangan Sisi. "Santai aja, tadi itu nggak di sengaja," Katanya.

Sisi mengangguk cepat lalu meneguk air putih dingin dalam gelas itu sampai habis. "Makasih."

Sebenarnya bukan hanya Sisi yang gugup, tapi juga Avin. "Luka lo nggak apa-apa?"

"Enggak, kok."

"Luka lo berdarah lagi tuh." Avin menunjuk perban yang membalut luka Sisi, terlihat ada darah yang keluar dari sana.

"Astaga." Sisi sampai tidak menyadari hal itu.

Avin lalu mengambil kembali kotak obat untuk mengganti perban Sisi. "Sorry, tadi karena gue nggak hati-hati, jadi luka lo berdarah lagi," ucapnya sambil membuka pelan-pelan perban yang membalut lutut Sisi. "Luka ini harusnya dibawa ke rumah sakit," tambahnya.

"Eh, enggak usah, udah nggak apa-apa, kok."
Sisi menolaknya.

"Pertanyaan gue tadi, itu serius. Tergantung jawaban lo aja,"

Love Me Again (REPOST)Where stories live. Discover now