Langkah kaki Hermawan terdengar makin menjauh. Sisi hanya bisa menangis dari balik pintu. Lututnya bahkan berdarah karena terkena kayu yang cukup tajam dari patahan kursi saat Hermawan mendorongnya tadi.

"Ya Tuhan, tolong Sisi!"

Diperjalanan menuju apartemennya. Avin mendadak menghentikan motornya. "Kenapa gue ngerasa ada yang ketinggalan, ya? Ya ampun! Helm gue masih ada di halaman rumah Sisi, kan?"

Avin menghela napas panjang. "Balik lagi atau enggak? Tapi kalau hilang, itu helm pemberian Ghe-" ucapnya terputus.

Akhirnya Avin memutuskan untuk kembali ke rumah Sisi mengambil helm yang dia letakkan di atas rerumputan halaman rumah Sisi.

"Itu?" Avin berhenti sekitar beberapa meter dari halaman rumah Sisi. Di sana, dia melihat ayah Sisi masuk ke dalam mobil bersama dengan seorang perempuan muda.

Avin tidak mempedulikan hal itu sebelum dia teringat bahwa ayah Sisi sering bertindak kasar pada Sisi.

Akhirnya Avin kembali melajukan motornya dan berhenti tepat di halaman rumah Sisi, waktu itu mobil yang di kendarai ayah Sisi sudah jauh dari pandangannya.

Helm Avin masih ada di tempat semula di meletakkannya. Avin turun, dia mengambil helm itu lalu menaruhnya di motor.

Namun, dia memikirkan apa Sisi baik-baik saja? Avin berinisiatif mengirimkan chat pada Sisi.

Lo lagi di rumah?
15.26

Sisi masih menangis di dalam gudang, dia mendengar suara ponselnya berdering. Sisi mengambil ponselnya sambil menangis, dia memikirkan bagaimana kabar bi Jemi, wanita itu pasti tidak bisa menolak perintah ayahnya. Sisi, di saat dia sendirian sedang kesakitan menahan perih di lututnya yang terluka. Lebih dari itu, hatinya dan mentalnya jauh lebih sakit memiliki ayah seperti Hermawan.

Sisi terkejut melihat pesan dari Avin. Dia bingung, apa yang harus dia katakan, dia tidak mau memberitahu siapapun tentang keadaannya. Tapi, dia juga ingin kabur, dia ingin pergi dari rumah itu.

"Apa gue kasih tahu Avin? Tapi gue malu, gue nggak mau Avin tahu gimana keadaan gue."

Sisi menggeleng, dia menaruh lagi ponselnya dan beralih melihat luka di lututnya.

"Argh! Kalau dibiarin bisa infeksi," ringisnya.

"Seharusnya keluarga itu jadi rumah yang hangat buat seorang anak. Tapi kenapa, kenapa ayah nggak bisa jadi rumah buat gue?"

Sisi terisak sambil menyentuh dadanya. Dia membiarkan darah mengalir di lututnya. Rasa perih itu seolah tidak berarti, rasa perih di hatinya lebih dari apapun yang menyakitkan.

"Ini kenapa dia lama banget balasnya?" Avin memperhatikan layar ponselnya. Sisi baru saja membaca pesan darinya tapi tidak juga membalas.

"Nggak biasanya. Hm? Aneh."

"But bodo amat! Ngapain gua jadi nungguin!"

"Tapi ...."

Avin melakukan panggilan, rasa penasaran mengalahkan gengsinya.

Suara dering ponsel Sisi membuat gadis itu kembali terkejut. Kali ini bukan sekedar chat. "Kenapa dia call gue? Nggak biasanya." Sisi gemetar menekan pilihan reject.

"Sorry Vin. Pertemuan kita udah cukup bikin gue bahagia. Nggak masalah gue mati sekarang, gue udah bahagia, kok. Lo nggak perlu tau apa yang gue alamin separah apa hidup gue, jujur gue takut lo nggak mau lagi jadi temen gue."

Love Me Again (REPOST)Where stories live. Discover now