Chapter 4

3.2K 466 3
                                    

Mansion besar itu sudah sibuk sejak pagi-pagi sekali, para pelayan dan pengawal mondar-mandir memenuhi tugas mereka. Noah yang sejak tadi sudah bangun, tapi masih enggan beranjak dari tempat tidurnya hanya terdiam memejamkan mata, berusaha tidur kembali.

Setelah makan malam yang harusnya jadi tempat berkumpulnya keluarga kecil itu, hancur dengan beberapa kata dari sang ayah. Noah kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk, gelisah, marah, sedih, dan kecewa, "Noah, aku tahu kau sudah bangun." Kelopak mata Noah mengerjab-erjab lucu saat mendengar ada yang menyebut namanya.

Matanya menyipit saat melihat surai pirang keemasan menyilaukan matanya,
"Arthur," Lirihnya pelan. Noah tidur menyamping, menghindari bertatap muka dengan Arthur.

"Apa sekarang kau membenciku?" Tanya Arthur lembut saat Noah membalikkan badannya enggan bertatap muka dengannya, "Seharusnya aku yang bilang begitu," Bisik Noah yang masih dapat di dengar oleh Arthur

"Untuk apa aku membencimu?" Arthur bertanya balik, dia berdiri berjalan kearah sisi ranjang milik Noah.
"Karna aku penyebab ibu tiada," Cicit Noah saat melihat Arthur sudah duduk disisi ranjang lainnya, tepat disebelahnya.

"Bukan kau penyebabnya," Bisik Arthur lembut, ia mengusap kepala Noah menyalurkan kehangatan dan kepercayaan. "Tapi... ayah bilang, a-aku hu... i-ibu...hu... ." Noah yang merasakan usapan lembut dikepalanya tidak bisa menyelesaikan ucapannya, ia hanya bisa terisak menumpahkan segalanya di depan Arthur.

"Tidak apa, menangis saja," Ujar Arthur pelan, ia membawa tubuh kecil adiknya ke dalam pelukan hangatnya. Memberitahu Noah bahwa ia tidak sendiri dan membencinya.

"Kau tahu Noah, Saat bertemu denganmu dan kak Lucion aku sempat cemburu dan membenci kalian saat aku melihat bagaimana cara kalian berinteraksi tanpa canggung. Sejak kecil aku sudah ada di dalam manor besar, tanpa teman dan keluarga. Aku bingung, aku tidak terlalu paham cara berinteraksi. Tapi saat aku melihat ayah, kak Lucion, dan kau, aku sadar bahwa kita punya kesulitan masing-masing. Walau sebenarnya aku masih bertanya-tanya mengapa aku di kurung dalam manor,"
Ungkap Arthur dengan suara memelan diakhir kata, ia menceritakan masa lalunya sebelum bertemu dengan keluarganya.

Noah memandang kakaknya dengan perasaan bersalah, ia kira kakaknya ini di besarkan penuh cinta dan kasih sayang, sebab Arthur selalu tersenyum hangat. Noah benar-benar tidak pernah mengira, Arthur yang lebih mirip bangsawan agung ternyata hanyalah remaja laki-laki yang kebingungan dalam kesendirian. Ternayata benar, mereka punya kesulitan masing-masing.

"Maaf... ," Sesal Noah mengeratkan pelukan pada Kakaknya. Arthur terkekeh saat merasakan pelukan Noah yang semakin erat padanya, "Kenapa kau minta maaf? Kau tidak salah Noah," Ucap Arthur lembut. Noah melepaskan pelukannya dari Arthur, menatap netra biru hangat kakanya.

"Terima kasih," Ujar Noah lirih. Arthur mengangguk sebagai jawaban, ia berdiri menatap Arthur lembut.

"Bagaimana kalau kita bertemu kakak?" Tawar Arthur pada Noah. Noah tersentak saat Arthur menawarkan ingin bertemu dengan Lucion, bayang-bayang Lucion saat makan malam terbayang dipikirannnya. Noah takut kakak tertuanya makin membencinya.

"Oke," Jawab Noah, ia tidak boleh menghindar, ia harus tahu apa yang dipikirkan kakaknya tentang dirinya.

"Goodboy," puji Arthur.

••••

Peluh membasahi baju dan pelipis Lucion, pedang miliknya dia ayunkan sekuat tenaga pada rekan sparingnya, rekannya-- Cassion juga tidak ingin kalah, dia menangkis serangan dari pedang milik Lucion dengan lihai.

Siapa yang menyangka? Lucion punya bakat dan fisik kuat dalam ilmu pedang, hanya diajari dasar-dasarnya dia sudah bisa sparing melawan Cassion yang disebut-sebut jenius berpedang.

Our Papa Is A Grand Duke!Where stories live. Discover now