(24) Vitamin

3.2K 617 201
                                    

Jennie masih menggenggam botol vitamin itu ketika kemudian ia teringat pada Nayeon dan menjadi sedih. Ia kadang memberikan vitaminnya untuk Nayeon karena mengkhawatirkan kondisi bayi yang perempuan kandung. Sekarang ... seperti usahanya mempertahankan bayi itu sia-sia belaka. Nayeon yang menang. Meski Jennie yakin perempuan itu juga memiliki penyesalan. Terakhir kali Jennie menjenguknya, Nayeon tidak banyak bicara. Tatapannya cenderung kosong. Jennie berharap setelah kejadian ini Nayeon akan lebih menghargai hidupnya. Kesempatan untuknya tidak akan pernah datang dua kali.

Lantas perasaan sedih itu mendorong Jennie untuk menghubungi Nayeon. Meski sudah cukup larut, Jennie hanya ingin memastikan Nayeon baik-baik saja.

Dering telepon itu tidak lantas tersambung. Jennie tanpa sadar menggigiti kuku ibu jarinya lantaran telepon tak kunjung diangkat. Hingga kemudian suara monoton itu tak terdengar lagi, Jennie kembali bersemangat setelah mendengar suara parau Nayeon menyahut dari seberang.

"Apa kau sudah tidur? Maaf jika aku mengganggu," kata Jennie.

"Tidak. Suster baru saja pergi dari ruangan saya."

"Bagaimana keadaanmu Nay? Kapan kau bisa pulang?"

"Dokter bilang besok pagi saya sudah boleh pulang. Tidak perlu khawatir."

"Ah, baguslah kalau begitu."

Kemudian keheningan menyergap beberapa saat. Semenjak hubungan mereka menjadi buruk, Jennie tidak bisa leluasa mengobrol dengan Nayeon. Meski besar dalam hatinya rasa khawatir selalu tercurahkan untuk Nayeon, Jennie juga masih berusaha membatasi diri, bahwa karena perempuan itu juga ia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya.

"Nona, lebih baik Anda tidur. Selagi saya tidak ada jangan lupa minum susu dan vitaminnya. Jangan sampai ... kejadian yang menimpa saya terjadi pada Anda juga. Saya ... minta maaf."

Jennie mengernyitkan dahi, berpikir apakah suster baru saja memberi Nayeon obat tidur?

"Aku baru saja minum vitamin dan akan segera tidur. Tidak perlu mengkhawatirkanku," kata Jennie.

"Eum ... Jennie, bolehkah aku berhenti?"

Perempuan itu tersentak. Sekarang mereka bicara seperti sepasang teman. "Maksudmu?" tanya Jennie bingung.

"Aku sudah tahu tidak bisa, ya?" Kemudian napas keras terdengar. Seolah Nayeon sedang mencoba menguatkan dirinya sendiri. "Kalau begitu ... saya akan tutup teleponnya. Nona ... tetaplah kuat. Jangan mati di tempat itu, Nona. Berjanjilah."

Kening Jennie kian mengernyit. "Apa yang sedang kau bicarakan?"

"Saya tutup dulu."

Kemudian sambungan benar-benar diputus. Jennie yang tercengang menatap layar ponselnya tak habis pikir. Tiba-tiba rasa takut menyusup membuat tubuhnya dingin. Botol vitamin yang masih dalam genggamannya ia pandangi lagi. Lekat. Dan kenyataan bahwa bentuk dan warnanya berbeda dengan vitamin-vitamin dari dokternya membuat wajah itu dicekam teror. Hatinya menjadi gelisah karena itu. Seolah Nayeon memberitahu bahwa Jennie sedang diincar untuk dibunuh seseorang. Tapi tidak mungkin itu Taehyung, bukan?

Tanpa sadar matanya terasa semakin panas. Ia melempar botol vitamin itu ke lantai. Tubuhnya mendadak menggigil gemetaran.

"Kenapa aku seceroboh ini?" gumamnya tanpa sadar sudah berderaian air mata.

Ia baru terpikirkan untuk mencoba memuntahkan vitamin itu di kamar mandi. Ia bisa memasukkan telunjuk ke tenggorokan, itu tidak sulit selagi belum ada efek samping yang terasa. Mungkin ia masih belum terlambat. Jennie harus segera muntah. Namun begitu ia bangkit berdiri, nyeri di perutnya kemudian datang, menahannya tetap duduk. Jennie meremas perutnya. Sakit sekali. Apa ia salah makan?

WIDOW [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang