Tragedi

40 16 1
                                    

Laskar merasakan dunianya semakin gelap. Terakhir dia hanya mendengar teriakan orang-orang di proyek meneriaki namanya.

"Ada Laskar, woy berenti!"

"Kar, awas!"

"Kar, bangun!"

Seketika, cowok itu merasa takut. Abian, Sutan, Yumna, Tante Amara, Pelangi. Bisakah besok mata ini terbuka lagi buat bisa lihat kalian?

Sementara itu, orang-orang membawa Laskar ke rumah sakit. Beruntung, saat diperiksa tak ada luka parah. Kepala bagian belakang hanya robek sedikit. Hanya mendapat dua belas jahitan. Kondisi tubuh yang lain normal, hanya tensi darah saat diperiksa memang rendah. Juga tak ada penyakit yang fatal bersarang di tubuh cowok itu.

Baru seminggu yang lalu, kepala sekolah bilang bisa membantu Laskar untuk mendaftar sekolah Akmil. Laskar sedang semangat-semangatnya. Pun dengan Tante Amara yang bilang, Laskar harus pergi, biar Sutan dan Abian ikut tante.

Cang Munir, selaku mandir proyek di tempat Laskar bekerja baru memberi tahu keadaan Laskar setelah cowok itu aman di rumah sakit. Tante Amara tentu orang yang pertama kali diberi tahu. Wanita itu, lalu ke rumah Laskar. Melihat tampang Abian dan Sutan yang sedang riang gembira, rasanya tak tega menyampaikan hal itu. Tante Amara memutuskan hanya memberi tahu Angi.

"Tan, terus gimana keadaan Akar?" Angi tentu kaget.

Dia beralih menatap Sutan dan Abian yang sedang main dengan Eleana dan Yumna. Sedangkan Shasa, dia malah tidur saat membaca novel.

"Tante mau rapihkan baju Akar, Tante minta tolong Angi ke mamanya Shasa biar anak-anak dititip bentar." Tante Amara bagi-bagi tugas.

Angi mengangguk, sambil berjalan ia juga menghubungi pak sopir untuk menjemput Eleana. Setelah mama Shasa siap menunggui adik-adik Laskar, dan Eleana dibawa pulang oleh pak sopir, barulah Angi dan Tante Amara gegas menuju rumah sakit.

"Yakin kamu bisa bawa si ninja?" selidik Tante Amara.

"Yakin Tante, Angi biasa kok bawa motor."

Ternyata Angi benar akan ucapannya, dia bisa membonceng Tante Amara selamat hingga sampai ke rumah sakit. Akar masih belum siuman, meski sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kepalanya diperban, dengan hidung terpasang selang.

"Tan, kasian banget Akar," bisik Angi.

Angi pandang dengan seksama wajah Laskar, terlihat tenang dengan mata tertutup rapat.

"Sadar dong, Akar." Angi mengusap pipi cowok itu.

"Akar, cepet sadar, ya." Tante Amara berbisik di telinga Laskar.

Beruntung, malamnya Laskar sudah siuman. Saat dokter memeriksa, keadaannya pun cukup baik. Angi dan Tante Amara lega, keduanya bersyukur sebab tak ada diagnosa parah tentang diri Laskar.

"Aku pikir nggak akan bisa bangun lagi, Tan," ucap Laskar saat Tante Amara mengusap bahunya yang terbungkus baju pasien.

"Udah Tante bilang, kamu jangan kerja di proyek. Masih ngeyel, sih," omel Tante Amara.

Laskar tertawa, iya, memang Tante Amara pernah mencegahnya bekerja di proyek itu. Namun, Laskar berkilah dengan bilang pasti kuat.

"Biar gimana kamu belum kuat-kuat banget, Kar,"  komentar Angi juga. Dia mengambil botol air mineral, lalu membuka tutupnya. "Minum dulu, ya." Angi mengambil sedotan plastik dari atas nakas samping ranjang Laskar.

Laskar mengangguk, menyesap air yang botolnya dipegangi Angi. Beberapa kali menyesap, lalu menyudahi kegiatannya setelah dirasa cukup.

"Makan ya, ini masih baru kok." Angi menunjuk pada  tempat makan yang masih rapi tertutup cling wrap.

LaskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang