Kesal

38 16 7
                                    

Omongan yang nggak disaring, sama murahnya dengan rokok kretek tanpa filter.

🛵🛵🛵

Yumna yang tak mau ikut dengan mamanya berbuntut keributan. Malam itu, Tante Amara datang bersama Nyak Titin, ibunya.

"Kamu apain anak saya sih sampe nggak mau ikut pindah dari sini?" Telunjuk Tante Amara tepat mengenai hidung Laskar.

"Udeh Mara, bisa apan diomongin bae-bae. Sadis bener elu ame si Akar," lerai Nyak Titin.

"Nyak nggak usah ikut campur!" bentak Tante Amara menohok hati Nyak Titin.

"Elu, Mara. Lagi kecil gue ajarin ngomong, udah tua malah berani bentak gue. Kagak ngotak lu!" balas Nyak Titin.

Yumna sedari tadi sembunyi di balik badan Laskar. Tangannya kuat mencengkram kaus biru Laskar.

"Una, ikut pindah sama Mama, ya?" bujuk Laskar, berharap Una setuju. Dari balik tubuhnya bisa Laskar rasakan bahwa Yumna menggeleng.

"Tante bisa liat sendiri, Una yang nggak mau." Laskar membela diri, sejujurnya ia juga berat harus pisah dengan Yumna. Namun, biar bagaimana Tante Amara lebih berhak mengasuh bocah itu.

"Pokoknya harus mau!" Tante Amara merangsek mendekati Yumna, menarik lengan putri kecilnya itu hingga lepas dari tubuh Laskar.

"Jangan kasar elu ame bocah. Pantesan kagak demen dia ame elu," tegur Nyak Titin.

"Diam dah Nyak, ah! Bikin mumet aje!" sentak Tante Amara.

Tangis Yumna pecah, gadis kecil itu menatap Laskar penuh permohonan. Seolah minta dibebaskan dari cengkraman sang Mama.

"Una ikut mama, ya? Kita masih bisa ketemu, kok. 'Kan deketan," hibur Laskar.

Yumna menggeleng, ia jelas mau tetap bersama Abang Akar.

"Udah deh, nggak usah ikut-ikut bujuk!" Masih saja bentakan yang terlontar dari bibir dengan polesan merah milik Tante Amara.

"Udeh ye, Kar. Nyang maklum dah ame enyak elu. Mulutnya kek rokok kretek, kagak ada filternye." Nyak Titin menghibur Laskar.

"Apaan sih, Nyak. Aye disamain ame rokok kretek. 'Kan murahan, Nyak," protes Tante Amara.

"Nah tuh lu tahu rokok kretek murahan. Same aje kaya elu kalo ngomong kagak difilter berarti ape namenye? Murahan juga apan?" Nyak Titin benar-benar membuat emosi Tante Amara naik ke ubun-ubun.

Sebagai anak, Tante Amara masih punya rem untuk tak terus menerus melawan Nyak Titin. "Ayo pergi deh!" Sebagai pelampiasan, wanita itu menarik kasar lengan Yumna dan membawanya pergi dari halaman rumah sang mendiang suami.

"Sering maen dah, Kar ke rumah Nyak. Kasian dah ame si Yuna." Nyak Titin selalu memanggil Yumna dengan sebutan lain dari yang lain.

"Insyaallah, Nyak. Titip Una ya, Nyak." Laskar memupuk air mata pasca Nyak Titin pergi.

Abian dan Sutan yang sedari tadi mengintip di balik tirai, keluar juga akhirnya.

"Bang, Una pergi, Bang?" rengek Abian, sedih. Sesedih ditinggal Jenab.

"Bang, sepi deh rumah," keluh Sutan yang selama ini paling rajin nemenin Yumna ke warung buat jajan.

"Udah, nggak usah sedih. Nanti kita bisa ke rumah Nyak Titin buat nengok Una."

Setelah itu, Laskar mengajak kedua adiknya masuk. Menyuruh dua bocah itu segera tidur. Laskar sendiri kini menempati kamar bekas bapak dan Tante Amara. Menggunakan sarung bapak, Laskar malam itu tidur. Mengurai lelah dan letih hari ini, menepikan wajah Angi yang tiba-tiba saja memenuhi pikirannya.

🛵🛵🛵

Lagi-lagi Angi masuk ruang BK bersama Novi. Sengaja sekali Novi membuat laporan, bahkan cewek itu juga membungkus lukanya dengan kain kasa. Mengesankan perbuatan Angi itu sangat kriminal. Seingat Angi, lukanya tak parah. Mengapa jadi berlebihan seperti itu?

"Gempita Pelangi Nayanika."

Suara Bu Dea memenuhi ruangan BK. Seperti biasa, Angi santai saja. Apa Bu Dea mau memanggil lagi mama-papa? Silakan, justru Angi akan bahagia. Dengan begitu bisa membuat dirinya bertemu dengan orang tuanya yang sedang sibuk itu.

"Masalah apa lagi sih, Angi?" tanya Bu Dea sambil melorotkan kaca mata.

" Kak Novi yang duluan, Bu." Angi bicara sesuai fakta. Bahkan rambutnya yang kini dipotong layer buktinya.

"Enak aja, jangan fitnah lo!" bentak Novi.

"Ada saksi? Kalau bisa jangan yang memberatkan sebelah pihak." Bu Dea meminta pendapat.

"Suruh Laskar aja, Bu yang jadi saksi," saran Novi.

"Laskar? Kelas berapa dia?" tanya Bu Dea.

"Laskar sekelas sama saya, Bu." Angi menjawab dengan taktis.

Bu Dea berjalan menuju pintu, melongok ke luar mencari siapa saja yang bisa dimintai tolong untuk memanggil Laskar. Didapati Bu Dea, Fauzan kebetulan lewat ruang BK. Bu Dea meminta tolong pada siswa itu untuk memanggil Laskar.

Tak lama, Laskar datang. Bu Dea langsung bertanya pada Laskar perihal kejadian yang dia lihat.

"Saya lihat Angi melukai dagu Kak Novi dengan gunting," tutur Laskar membuat Angi menatap dengan kecewa ke cowok itu.

Bukannya Akar liat ya rambutku digunting juga? Monolog Angi dalam hati.

"Jadi kamu sengaja melukai Novi, Angi?" tuding Bu Dea.

"Bu, saya ngelakuin itu karena membela diri. Kak Novi duluan yang motong rambut saya." Angi mulai terisak, biasanya dia tak cengeng begitu.

"Kar, elo 'kan liat rambut gue digunting!" sentak Angi.

Laskar menggeleng, dia hanya lihat Angi melukai dagu Novi dengan gunting. Hanya itu yang Laskar yakini. Akhirnya buntut dari perdebatan itu menghasilkan dihukumnya Angi oleh Bu Dea. Cewek itu diberi tugas membersihkan toilet wanita selama tiga hari dan selama itu pula Angi harus memakai rok panjang serta kemeja panjang. Bukan rok di atas lutut dengan baju kecil seperti selama ini.

"Kar, elo kok boong sih ke Bu Dea?" protes Angi setelah mereka keluar dari ruang BK.

"Gue emang nggak liat," sanggah Laskar.

"Gue emang nggak pernah terlihat ya, Kar di mata elo?" sindir Angi.

"Elo yang udah hapus semuanya, elo yang bikin semua kaya gini, Ngi," bisik Laskar penuh penekanan.

Angi tak menjawab, percuma saja Laskar juga sudah tak mau peduli. Angi memilih pergi dari hadapan Laskar. Dia menuju toilet dan mulai membersihkan bagian luar. Di dalam toilet, ada dua orang siswi yang entah siapa? Mengobrol asyik diselingi suara push dari botol parfum yang disemprotkan sepertinya.

"Gue yakin, Laskar pasti mau ke gue." Itu suara Sahla.

"Bentar lagi gue sama dia resmi deh," lanjut sahla.

Kalimatnya seolah disengaja untuk memanasi Angi, sebab gadis itu sudah tahu saat melongok keluar dan ada Angi.

"Suka banget kayanya dia sama elo?" tebak teman. Sahla.

"Iyalah Sahla gitu, lo!" sambar Sahla sambil tertawa sombong. Kemudian dirasa sudah membuat Angi panas, keduanya pun pergi dari toilet.

Angi jelas kesal mendengar semua itu. Rasanya hati dihujam ribuan tombak dengan ujung mata yang panas. Laskar dan Sahla akan segera berpacaran? Musnah sudah harapan Angi untuk sekedar mendapat maaf dari Laskar. Atau Angi terlalu takut memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi?

LaskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang