Sahla=Salah

36 17 5
                                    

Kelompok Laskar, Angi dan kawan-kawan mendapat nilai terbaik saat pentas drama. Kerja keras memang tak mengkhianati hasil. Seminggu latihan, mereka bisa mempersembahkan yang terbaik.

Bel istirahat berbunyi, Angi langsung keluar kelas tanpa menunggu Shasa yang sibuk dengan buku catatannya. Cewek itu kelaparan, tadi pagi tak sempat sarapan karena kesiangan.

Di kantin, Angi ketemu Ryu dan kawannya. Dia sempat diajak satu meja bersama, tetapi cewek itu menolak. Malas saja gabung dengan para buaya itu. Sok ganteng, sok populer, sok semuanya.

Angi duduk sendiri di pojokan, menghadap meja bulat yang di atasnya terdapat sendok, kecap, saus, tisu, dan keripik pangsit dalam kemasan. Tak lama, bakso pesanan Angi datang, lengkap dengan pop ice rasa permen karet serta pisang bakar dengan keju parut ekstra.

Baru Angi hendak menyuapkan bihun ke mulutnya, Ryu datang membawa makanannya.

"Elo nggak mau duduk di sana karena banyak anak-anak, 'kan?" Ryu duduk menghadap Angi, membawa serta siomaynya.

"Karena ada elo, ck," decak kesal Angi sambil menyuap bihunnya. Ia potong bakso, sekaligus menumpahkan sambal berwarna merah tiga sendok sekaligus.

"Angi, itu sambelnya kebanyakan!" seru Ryu, menggeleng khawatir

"Paan, sih. Suka-suka gue," sembur Angi sambil mengaduk makanannya, dengan santainya ia kembali menyuap bakso yang telah dipotong.

"Ngi, nggak pedes?" Ryu bengong melihat Angi tanpa ekspresi melahap baksonya.

"Pedesan muka elo, Ry," celetuk Angi membuat Ryu terbahak.

"Cuma elo, Ngi yang berani ngatain gue. Bikin gue suka." Ryu tertawa lalu melahap siomaynya.

"Bacot, lo. Balik sana ke kursi lo!" usir Angi kesal sambil mengadukan sendok dengan mangkuk.

"Nggak mau, maunya di sini deket elo," timpal Ryu, mulutnya menyuap siomay, matanya menatap ke Angi.

"Liatin tuh somay, salah suap baru rasa!" omel Angi, tak suka dilihat begitu oleh Ryu.

"Suka-suka gue, mata-mata gue. Jadi elo yang repot. Makan buru baksonya, abis itu makan juga nih pisang bakarnya. Biar tambah gemoy pipinya." Ryu hampir mencubit pipi Angi, tetapi cewek itu tangkas menangkis tangan Ryu.

"Kurang ajar, lo. Buaya!" umpat Angi.

"Buaya adanya di rawa, bukan di SMA Guna Karya. Buaya burik, nggak licin kek gue," puji Ryu pada dirinya sendiri.

Angi tak menjawab, fokus menghabiskan baksonya. Kemudian menarik gelas pop ice-nya. Mengaduk minuman itu menggunakan straw, lalu menyesapnya santai. Matanya menangkap sosok Laskar berjalan menuju kursinya, bahkan meski dari jarak jauh keduanya sempat berpandangan.

Angi lekas membuang pandangan, ia tarik tangan Ryu yang hendak memasukan sendok berisi siomay ke mulutnya.

"Enak, lagi dong," ucap Angi sambil tersenyum manis.

Laskar menghentikan langkahnya yang tiba-tiba terasa berat. Angi dan Ryu terlihat mesra dan akrab di mata Laskar.

"Abis, Cantik. Mau pesen lagi?" tawar Ryu.

Jika saja bukan sedang akting ingin memanasi Laskar, ingin sekali Angi jotos itu mata Ryu pakai garpu.

"Suapin pisang bakar aja, ya?" saran Ryu diangguki Angi.

Laskar yang awalnya ingin menghampiri Angi, mengurungkan niat. Ia membalikan badan, meninggalkan kantin. Angi mengembuskan napas lega. Kemudian menampik suapan yang diberikan Ryu.

"Udah sana, ah! Balik ke kursi elo!" sentak Angi sengit.

Ryu bengong, baru beberapa menit lalu cewek itu bersikap manis. Tiba-tiba berubah lagi.

"Pergi, Ryu! Gue muak banget liat muka elo!" tegas Angi menohok hati cowok itu.

"Segitu bencinya elo ke gue, Ngi? Sama elo, gue yakin nggak bakal main-main." Ryu memelas.

Angi berdecak kesal, apa yang bisa didapat dari seorang Ryu yang sok ganteng ini? Kesetiaan? Ketulusan? Bullshit. Siapa yang bisa percaya Ryu, tiap cewek yang udah dia dapetin bakal ditinggalin gitu aja kalo dia bosan. Seenaknya dia bakal bilang, "elo nggak menarik lagi setelah dimilikin."

Angi sering dengar desas-desus keburukan cowok itu. Sialnya, cewek-cewek bukannya kapok malah makin mengantri dipacari Ryu.

"Ngi, elo bener-bener nggak mau coba buka hati buat gue?" Ryu memelas.

"Balik ke kursi elo, Ry," geram Angi membuat Ryu akhirnya beranjak. Cowok itu dengan mata memerah dan rahang mengeras menatap Angi sekilas. Ia lalu pergi, setelah berhasil menghunus jantung Angi dengan tatapannya itu.

"Maaf, Ryu. Angi nggak bisa."

🛵🛵🛵

Laskar merasa hubungannya dengan Sahla makin rumit. Kalau kata teman-temannya, Sahla itu toxic. Seseorang yang bisa mengubah Laskar dari sikap asli cowok itu.

"Nih, Kar. Sejak kapan coba elo ngabisin jajan di kafe, biasanya juga minum air keran," ucap Akbar sore itu ketika mereka berkunjung ke rumah Laskar. Sudah lama mereka tak berkumpul sepulang sekolah begini.

"Tinggalin aja si Sahla, Kar. Buat apa bertahan dalam hubungan toxic kek gini. Itung, udah berapa duit yang elo keluarin gegara jajanin Sahla?" tambah  Ihsan membuat Laskar berpikir sejenak.

"Inget, bahkan ade-ade elo aja nggak pernah 'kan jajan di kafe?" Akbar yang sedang mengunyah tempe goreng yang tadi dibeli di depan gang bicara lagi.

Laskar banyak mencermati perkataan teman-temannya sore itu hingga sadar kedua adiknya belum pulang bahkan ketika azan magrib berkumandang. Cowok itu sampai mendatangi satu persatu rumah teman adiknya. Namun, hasilnya nihil. Tak ada yang tahu Abian dan Sutan ke mana. Laskar pulang, mendapati kedua adiknya juga baru sampai rumah.

"Kalian dari mana jam segini baru pulang?" Laskar kesal, kedua bocah itu sampai tak mengaji.

Abian dan Sutan tak menjawab, keduanya malah saling pandang dengan tangan seolah sedang menggenggam sesuatu.

"Kalian dari mana?" ulang Laskar dengan nada lebih tinggi.

"Maaf, Bang. Kita dari rumah Mpok Atun." Abian menjawab, Mpok Atun adalah nama penjual gorengan di depan gang.

"Ngapain? Sampe sore gini?" tanya Laskar lagi.

Abian dan Sutan saling senggol, tak berani jujur.

"Ngapain, jujur aja!" titah Laskar selanjutnya.

"Bantuin Mpok Atun dagang gorengan keliling gang senggol. Dari satu gorengan, kita dapet 200 perak. Lumayan, Bang."

Abian menunjukan dua puluh ribu uang lusuh di telapak tangannya. Disusul Sutan juga ikut membuka tangannya, sama saja jumlahnya.

Laskar memijit pangkal hidungnya. Merasa bersalah telah mengabaikan kedua bocah itu beberapa hari ini.

"Masuk, mandi, makan, istirahat solat. Besok nggak usah lagi ke tempat Mpok Atun. Tugas kalian itu sekolah, belajar, bukan cari duit!" suruh Laskar.

"Maaf, Bang. Kita cuma nggak mau selalu jadi beban Abang. Kita mau bantu ringanin tugas Abang," jelas Abian.

"Abang udah cape sekolah, cape juga kerja di warung demi ngasih kita makan. Kita kasian ke Abang," terang Sutan.

Laskar mengangguk, ia tak marah pada kedua bocah itu. Ia marah pada dirinya sendiri sudah abai pada kedua adiknya.

"Masuk, mandi, makan!" tegas Laskar membuat kedua adiknya lekas masuk.

Laskar menghela napas, ia merasa gagal menjadi kakak. Dipaksa dewasa oleh keadaan ternyata sulit. Saat usia masih ingin main-main, tetapi keadaan mengharuskannya berbuat lain.

Malam itu, Laskar memikirkan banyak hal. Dengan kamar yang sengaja dimatikan lampunya, Laskar masih belum bisa tidur hingga pukul 00.30. Dia berpikir harus mengakhiri hubungannya dengan Sahla. Ia juga rasa harus meminta maaf pada Angi secara terbuka.

"Gue harus fokus ke ade-ade dan target. Pacaran cuma bikin gagal fokus ternyata."

LaskarWhere stories live. Discover now