Papa

36 15 1
                                    

Angi dan Shasa serius tiap kali belajar bersama. Keduanya jelas ingin kali ini bisa dengan mengerti tiap kali mengerjakan soal. Ada yang bilang masa putih-abu itu bila kelas sepuluh dan sebelas boleh leha-leha, tapi no dengan kelas dua belas. Hidup harus berubah, harus mulai serius.

"Kalo dikerjain sungguh-sungguh ternyata gak susah, ya," ucap Angi sembari memasukan buku dan alat tulis lain ke dalam tas.

"Shasa masih bingung, sih," keluh Shasa.

"Atau emang Shasanya yang oon, ya?"

Laskar dan Angi saling berpandangan, keduanya tersenyum dengan Angi yang lebih dulu memalingkan pandangan.

"Nggak ada orang yang oon, yang ada orang yang malas, Sha." Laskar niatnya menghibur, tetapi malah bikin Shasa jadi mengeluh lagi.

"Maksudnya Akar mau bilang, Shasa malas? Tega banget, Akar."

Angi tertawa, sangat pelan. Agar Shasa tak tersinggung. "Udah, mending sekarang Shasa istirahat. Angi juga mau pulang."

Bicara dengan Shasa yang memiliki sedikit kelainan harus halus, jangan sampai ada nada bentakan.

"Ayo gue anter, Ngi. Kita beli jamu dulu tapi, ya?" saran Laskar. Dia ingin Angi tambah sehat.

"Gue udah sembuh, Akar. Udah nggak perih lagi, kok," tolak Angi.

Ya sudah, akhirnya mereka pamit pada Shasa dan mamanya. Namun, Laskar terlebih dahulu mengajak Angi minum jus di tempat Mpok Ipeh.

"Alpukat satu sama jeruk satu ya, Mpok," pinta Laskar.

"Mau jajanannya nggak, Ngi?" tawar Laskar.

Di warung jus itu juga Mpok Ipeh menjual aneka makanan ringan.

"Enggak, ah. Minum aja doang," tolak Angi dengan sudut mata yang mengikuti langkah seseorang menyeberang jalan.

"Akar, itu Tante Amara bukan sih?" Angi menunjuk ke sebrang jalan.

"Lah, apan emang pegitu kerjaan si Amara. Maranin laki orang, demi recehan ceban," celetuk Mpok Ipeh sambil menghidangkan jus pesanan Laskar.

"Elu sih pasti kagak tau 'kan, Kar. Dia bisa apaan lagi selain begitu mah."

Saat Laskar melihat lagi ke sebrang, Tante Amara sudah tak ada. Jus jeruk jadi terasa hambar, tak bisa menyegarkan tenggorokan.

"Kasian ke Una, Kar," cetus Angi.

Ia yang merasa jadi korban atas perselingkuhan papa, merasa sangat kesal dengan Tante Amara. Apapun alasannya, tak baik bukan merebut milik orang lain?

"Pantesan Una nggak terawat," gumam Laskar. Ia tak sadar sudah meremas cup jus jeruk yang isinya sudah tandas.

"Coba ngomong ke Tante Amara, Kar. Demi Una," saran Angi dan Laskar mengangguk.

Keduanya melanjutkan perjalanan setelah Angi selesai menghabiskan jusnya. Saat tiba di depan gerbang, ada papa yang sedang memasukan beberapa kardus yang entah isinya apa.

"Papa mau ke mana?" tanya Angi, heran. Kenapa papa tak membawa mobilnya masuk?

"Papa mau ke Malang, Ngi. Papa nggak tahu pulangnya kapan, ada acara di sana," jawab papa.

"Sama siapa?" selidik Angi.

Laskar tak enak hanya diam, ia gegas membantu papa Angi memasukan kardus ke dalam bagasi mobil.

"Sama Tante Lena, juga adik kamu."

'Adik? Angi tak mau mengakui Eleana sebagai adik.'

Tak lama, papa pamit.

"Belajar yang baik ya, Ngi. Kejar cita-citamu, bila perlu sekolah fashion ke Paris."

Angi memang senang dengan design baju, cita-citanya menjadi perancang busana. Menciptakan pakaian yang bisa membuat orang yang memakainya menjadi tambah cantik dan tampan.

"Harus sayang ke Eleana, ya," pinta papa.

Angi diam saja, memandang sendu kepergian papa. Laskar pun lekas pamit, ia khawatir pada Yumna. Bila Tante Amara pergi, artinya bocah itu tak ada yang mengawasi.

🛵🛵🛵

Setelah penilaian akhir semester selesai dilaksanakan, Laskar mulai memberanikan diri membahas kelakuan Tante Amara pada ibu dari Yumna itu. Awalnya Tante Amara malah menanggapi dengan amarah.

"Akar cuma mau Una dirawat dengan baik, Tan," ucap Laskar.

"Kenapa kamu peduli sama Una? Dia bukan adik kamu, Kar!" tegas Tante Amara.

"Una adik buat Akar, Bian, dan Sutan. Kami sayang Una."

"Aku mau Tante stop cari penghasilan dengan cara gitu, Tan. Masih banyak usaha yang bisa dilakukan," saran Laskar.

"Apa? Usaha apa? Modal dari mana?" cecar Tante Amara.

"Akar bisa bantu, Tante pikirin mau usaha apa? Nanti Akar bantu pas liburan kenaikan kelas." Laskar sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Dan, esoknya Tante Amara mendatangi Laskar bersama Yumna. Bilang tentang usaha apa yang akan digeluti Tante Amara.

"Sejuta juga cukup, Kar. Kata nyak sih banyak peminatnya."

Tante Amara hendak menjual aneka keripik untuk dimasukan ke warung-warung.

Tanpa pikir panjang,  Laskar memberikan sejumlah uang yang disebutkan oleh Tante Amara.

"Oh iya, Kar. Kamu masih minat sekolah Akmil? Masih bercita-cita pake seragam yang banyak lencananya?" tanya Tante Amara.

Laskar tak lekas menjawab, sedikit kaget juga kenapa Tante Amara bisa tahu.

"Lanjutin, Kar. Bapak pasti bangga kalo kamu sampai berhasil."

Tante Amara mulai menunjukan sikap baik pada Laskar. Apalagi setelah usahanya berjalan. Sering datang sekedar mengirimi Laskar makanan. Yumna sekarang jadi lebih terawat, tak lagi lusuh seperti kemarin-kemarin.

🛵🛵🛵

Jelang liburan, sekolah diramaikan dengan acar classmeeting. Laskar bersama kawan-kawan hari itu mendapat giliran tampil. Ke-empat cowok itu percaya diri membawkan lagu kupetik bintang.

"Sebagai pengingat teman, juga sebagai jawaban. Semu tantangaaan."

Angi nampak riang di tempatnya berdiri sebelum akhirnya mendapati informasi dari orang rumah bahwa papa kecelakaan dalam perjalan pulang dari Malang.

Angi lekas pulang, diantar oleh Laskar. Di rumah, suasana sudah mulai ramai. Bahkan bendera kuning pun tersimpan di depan gerbang .

"Pak, Papa saya kenapa?" tanya Angi pada satpam, Angi mulai frustasi.

Apalagi ketika mama bilang, papa sudah tiada. Angi jelas sedih, meski tak pernah merasakan kasih sayang utuh selama ini, tapi papa tetap kebanggaan Angi.

Sore itu, dibawah rintik hujan, jenazah papa tiba di rumah. Angi kembali merasakan sesak yang amat. Kala mengantar kepergian pria nomor satu dalam hidupnya itu.

"Sabar ya, Ngi. Tuhan pilih elo pasti karena elo kuat."

Angi memang harus kuat, tak ada alasan untuk hancur. Ia punya adik perempuan satu ayah. Sedari tadi hanya memandang penuh harap ke Angi.

"Dia adik kamu, harus saling sayang." Akar mengingatkan

Sejak saat itu, Angi jadi lebih peduli pada Eleana. Bagaimana juga, dia tak salah. Gadis itu butuh kasih sayang dan rangkulan.

Terlebih saat Eleana sendiri yang datang pada Angi, minta dijadikan teman oleh cewek itu. Meski sikapnya terkadang menyebalkan, namanya saja anak-anak.

Dari kejadian ini, mama jelas paling terpukul. Tiap kali bertemu dalam keadaan bertengkar. Sekalinya bertemu untuk yang terakhir, papa hanya bisa diam.

LaskarWhere stories live. Discover now