19 : Hubungan Manis

2.1K 408 63
                                    

"Apa kau senang melihatku marah seperti ini??"

Sevy menarik napas pendek. "Tentu saja tidak. Maafkan aku. Jika saja aku tidak menyetujui dari awal, semuanya pasti tidak akan seperti ini."

Menyadari penyesalan itu, Sean ikut membuang napas berat. "Mereka benar-benar membuatku emosi," sahutnya, lalu menarik Sevy untuk berbaring bersamanya di atas tempat tidur. "Aku baru tahu kalau Nea memiliki sifat mengerikan seperti itu."

"Dia mantan kekasihmu."

"Dan dia kakakmu." Sean membalas dengan delikan sebal, yang membuat Sevy tertawa. "Jangan tertawa," sungutnya. "Mulai sekarang, kita cukup mengabaikan mereka saja. Kita akan sarapan dan makan malam di kamar, setelah kau menyiapkannya."

"Ini rumahmu, kenapa kau harus bersembunyi seperti itu?"

"Katakan itu pada dirimu sendiri yang seminggu terakhir bersembunyi seperti seorang pengecut," sambar Sean sambil mengetuk pelan kening Sevy. Melihat decakan keras yang diberikan Sevy membuat Sean mendengkus geli dengan senyum tertahan di bibir. Sean menatap lekat wajah cantik Sevy. Ia bahkan baru menyadari bahwa istrinya ini memiliki bulu mata dan alis yang sangat cantik. Seluruh perpaduan yang terbalut sempurna. "Bagaimana ini? Tiba-tiba aku jadi menginginkanmu."

"Kau ini—" Kalimat Sevy terhenti karena Sean sudah lebih dulu mencium bibirnya lalu memberi lumatan-lumatan kecil yang berakhir dengan kebersamaan mereka di atas tempat tidur. Sean pasti tidak akan pernah tahu bahwa apa yang menjadi kebutuhan pria itu justru sesuatu yang selalu membuat debaran di dada Sevy meluap sampai hampir membuatnya sesak napas.

Sean masih mengatur napasnya saat membiarkan Sevy memakai kembali pakaian tidur. Tangannya seketika terbuka meminta Sevy masuk ke dalam pelukannya. "Terima kasih," bisiknya sambil mengusap rambut Sevy. "Aku menyukai sikapmu sejak kemarin."

Sevy mengernyit dalam pelukan Sean. "Memangnya ada yang berubah dari sikapku?"

"Kurasa begitu," balas Sean masih dengan senyum. "Aku tidak suka kau selalu diam dan bertingkah tenang tanpa mau menunjukkan apa yang sedang kau rasakan. Itu membuatku terlihat seperti pria tolol."

Kalimat itu justru membuat Sevy terkekeh kecil. "Kau terlalu berlebihan," sahutnya.

"Aku serius." Sean kembali membantah dan menunduk untuk menatap Sevy. "Saat awal bertemu denganmu dalam rencana pernikahan kita, kupikir akan sangat mudah mengendalikanmu yang hidup sebagai putri bungsu keluarga Poulga. Kau tahu apa kata orang di luar sana tentangmu? Kau adalah gadis manja yang disembunyikan Poulga karena terlalu disayangi layaknya putri," ujarnya panjang. "Sayang sekali kau sudah bukan gadis lagi sekarang."

Tawa Sevy terdengar sangat geli saat mengartikan kalimat terakhir Sean—setelah berusaha mengabaikan awal kalimat itu. "Aku baru tahu kau bisa bicara panjang seperti ini."

Sean mendengkus samar. "Aku bisa bicara sangat panjang pada orang yang dekat denganku."

"Jadi aku salah satu orang yang dekat denganmu?"

"Setelah apa yang kita lakukan tadi, kau masih bertanya?"

Sekali lagi, Sevy tertawa. Malam ini, Sevy benar-benar bahagia. Rasa lelah dan sakitnya tiba-tiba menguap begitu saja. "Aku pikir, sikapmu juga berubah setelah kemarahanmu malam itu."

Diingatkan lagi tentang kesalahannya, membuat Sean menarik napas pendek. "Aku benar-benar konyol malam itu. Maafkan aku."

Sevy hanya tertawa geli.

"Kau seharusnya marah, bukan tertawa."

Sean hanya tidak perlu tahu bahwa sekalipun marah, Sevy selalu mampu menahan dirinya dengan baik. Terbukti tiap kali Nea memancing emosinya, Sevy selalu tahu bagaimana harus menahan diri agar tidak ikut terpancing. "Marah atau pun tidak, setidaknya kau sudah menyadari kesalahanmu. Itu yang lebih penting, kan?"

Never Know [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang