06 : Selalu Sama

2.6K 521 33
                                    

"Itu bukan sesuatu yang perlu kau ketahui, Sean."

"Benarkah?" Sean membalas dengan santai, tapi jelas menyembunyikan raut bahaya di wajahnya. Berani sekali Sevy mengatakan kalimat itu di depan wajahnya!

Sevy mengangguk tenang. Benar-benar tenang, karena telah berhasil kembali menguasai diri. Sevy sudah menghadapi cukup banyak ketakutan dalam hidupnya, jadi sekalipun aura Sean memang sangat mendominasi, tapi Sevy tentu saja tidak akan gentar dengan cepat.

Sialan, Sean mulai tidak menyukai raut tenang ini!

"Mengapa kau berpikir bahwa bekas-bekas luka di tubuhmu bukan sesuatu yang perlu aku ketahui, Sevy?" Sean merangkum sebelah wajah Sevy dengan tangan besarnya. Tubuhnya masih menunduk di depan Sevy, mengurung sang istri. "Bukankah sudah kukatakan bahwa ketika kau menyetujui pernikahan ini, tubuh dan hidupmu adalah milikku. Kau tidak lupa, kan?"

"Jika kau terganggu dengan bekas-bekas luka itu, aku akan segera membereskannya."

"Itu bagus." Sean mengulas senyum miring. "Aku tidak suka tubuh yang mungkin akan kusentuh setiap malam ternyata cacat dengan banyaknya bekas luka."

Sevy harus bersikeras berusaha membuat wajahnya setenang mungkin, sekalipun hatinya berdenyut sakit mendengar kalimat Sean barusan. "Aku mengerti," sahutnya pelan.

"Dalam semalam." Sean menegakkan tubuhnya—walau tidak menjauhkan diri dari posisi Sevy yang masih terududuk di kursi makan kamar mereka.

Kepala Sevy mendongak penuh tanya menatap Sean.

"Jika bekas-bekas luka itu tidak hilang dalam semalam, jangan beraninya pulang ke rumah ini, Racevyn."

Tentu saja Sevy tercenung dengan hebat. Belum lagi bantingan pintu kamar yang Sean lakukan saat keluar dari kamar mereka membuat Sevy membuang napas keras, lalu menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Seharusnya sejak awal, Sevy memang tidak pernah terbuai oleh tawaran Nyonya Maggie.

Sedangkan di ruang kerjanya, Sean sudah berkali-kali memukulkan kepalan tangannya di atas meja. Bibirnya terus mengumpat lamat-lamat karena mengingat kalimat kejamnya tadi.

Sean kembali merutuk. Oh, tidak! Itu bukan salahnya. Sevy-lah yang terlalu berani melawannya dengan sikap tenang dan jawaban tandas tanpa jeda saat menjawab tiap kalimatnya tadi.

Helaan napas Sean berhembus kasar saat mengingat kembali bekas-bekas luka di tubuh Sevy. Tangan Sean berkacak pinggang dengan raut wajah yang mengeras.

Itu bukan sesuatu yang perlu kau ketahui, Sean.

Sean benar-benar marah. Bagaimana mungkin itu bukan menjadi urusannya? Di saat Sevy adalah istrinya. Di saat wanita itu bahkan sudah sungguhan menjadi miliknya semalam! Sean memejamkan mata berusaha untuk sedikit mengatur emosinya. Sayangnya, bayangan ketika tangannya menelusuri jejak luka di tubuh Sevy kembali membuat rahanya mengetat. Sean tentu saja tidak bodoh untuk menyadari bahwa bekas-bekas luka itu bukan hanya goresan atau pun luka ringan.

Demi Tuhan, Sean tahu ada bekas luka tembak di punggung dan sayatan yang sepertinya cukup dalam di pinggang wanitanya! Bahkan masih ada lebam baru di bahu istrinya semalam. Tentu saja itu bukan karena perbuatannya semalam, sebab lebam itu sudah terlihat saat Sean pertama kali membuka baju yang dikenakan sang istri. Sialnya, nafsu terkutuk semalam membuat Sean mengabaikan tiap jejak yang ditemuinya di tubuh ramping itu. Sean baru kembali mengingatnya setelah Sevy beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sean kembali memukul meja kerjanya dengan kepalan tangan. Jika Sevy memang tidak ingin memberi penjelasan apa pun padanya, maka ia akan mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya ditutupi oleh istrinya itu. Sean tentu bukan jenis pria yang akan memilih diam dan mengiyakan begitu saja saat ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Apalagi jika itu menyangkut miliknya. Dan Sevy adalah miliknya setelah apa yang mereka lakukan semalam. Karena ketika sesuatu sudah menjadi miliknya, Sean tidak akan membiarkan dirinya terusik dengan alasan apa pun.

Never Know [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang