26 : Masih Meraba

2.3K 433 239
                                    

Sevy sangat terkejut saat mendapati Sean berada tepat di depannya dengan raut wajah marah. Ia bahkan tidak bisa melakukan apa pun saat Sean memaksanya untuk membuka pakaian tidurnya untuk melihat adakah lebam selain di lehernya, dan tentu saja Sean mengumpat keras saat melihat lebih banyak lagi lebam di balik pakaiannya. Sevy benar-benar tidak menyangka bahwa Sean akan pulang tanpa memberinya kabar sama sekali.

"Kau bilang akan di sana selama tiga hari."

"Diam," sentak Sean masih mengolesi obat pada lebam-lebam di tubuh Sevy yang warnanya sudah berubah sedikit ungu. Rahangnya masih mengeras menyadari lebam itu bukan hanya ada di beberapa titik, tapi hampir di seluruh tubuh istrinya!

"Aku sudah mengolesinya dengan obat, Sean. Ini sudah tidak sakit—"

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk diam?" Sean menatap Sevy dengan tajam, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Dan ketika Sean sengaja menekan salah satu lebam di perut Sevy, ia mengangkat sebelah alisnya menatap sang istri. "Itu yang kau katakan sudah tidak sakit?"

Sindiran itu membuat Sevy akhirnya memilih diam. Sejak tadi Sevy menahan ringisannya tiap kali Sean menyentuh bekas lukanya.

"Lebam-lebam ini lebih terlihat karena kau membiarkan dirimu dipukuli. Jadi, apa pekerjaanmu tidak mengijinkanmu membela diri saat sedang berada dalam bahaya?" tanya Sean. Hanya satu dugaan itu yang muncul di kepalanya; lebam-lebam itu mungkin karena misi sialan yang sedang Sevy kerjakan.

Sevy tahu Sean sedang sangat marah. Tetapi entah Sevy harus merasa bersyukur atau tidak saat Sean menduga lebam di tubuhnya adalah karena pekerjaannya.

"Jika tubuhmu harus terus terluka karena pekerjaanmu, sebaiknya kau segera berhenti dari sana."

"Sean—"

"Dengar," potong Sean mengangkat kepalanya untuk menatap Sevy. "Aku sangat marah sekarang," ucapnya dengan nada rendah. "Aku menyelesaikan pekerjaanku dengan sangat cepat dan menempuh perjalanan belasan jam agar bisa pulang bukan untuk melihat tubuh istriku penuh dengan lebam seperti ini." Sean sama sekali tidak mengendurkan raut kakunya.

Kali ini Sevy kembali terdiam. Sekalipun ada desir hangat di dadanya karena merasakan kekhawatiran bersamaan ketulusan dari kalimat Sean barusan.

"Jadi—"

"Maafkan aku, ya?" Sevy memotong kalimat Sean dengan pelukannya. "Kau pasti lelah sekarang, jadi jangan buat dirimu semakin lelah karena emosi."

Pelukan yang terlalu tiba-tiba itu membuat Sean terkejut dan cukup membuat emosinya sempat meluap begitu saja. Sayangnya, Sean segera mengembalikan kesadaran, dan sengaja memberikan dengkusan keras agar Sevy tahu bahwa sebuah pelukan tidak akan berhasil meredakan kemarahannya.

"Ini akan segera sembuh, dan aku berjanji tidak akan menimbulkan bekas yang bisa membuatmu tak nyaman."

"Apa kau pikir itu yang ada di pikiranku?" desis Sean menundukkan kepala untuk menatap Sevy tajam. Tetapi sialnya, Sevy justru memberikan sebuah kecupan di bibirnya—dengan senyum lembut yang seketika membuat Sean terhenyak.

"Kau harus istirahat. Terima kasih sudah pulang dengan selamat."

Sepertinya, Sean memang sedang tidak waras. Ia merasa seperti pria labil yang emosinya tiba-tiba berganti menjadi luapan lain yang meminta untuk segera dipenuhi. Pada akhirnya, Sean menyerah dan memilih menarik tengkuk Sevy untuk mencium bibir sang istri—menahan lebih lama sisi kepala Sevy agar gerakannya bisa lebih leluasa.

Untuk pertama kalinya, Sean benar-benar tidak mengerti, bagaimana bisa kemarahannya secepat kilat berganti dengan keinginan kuat untuk memiliki Sevy sekarang juga.

Never Know [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang