01 : Pagi yang Buruk

4.6K 609 27
                                    

"Kau belum menyentuh istrimu?"

Uhuk!

Sean sontak terbatuk saat mendengar pertanyaan tiba-tiba dari sang ibu. "Pertanyaan apa itu, Bu?" tanyanya, sambil melirik kesal.

"Kau hanya perlu menjawab saat Ibu bertanya. Apa susahnya menjawab pertanyaan itu?"

Tarikan napas Sean memberat, lalu meneguk air putih di gelasnya dengan cepat. Keingin-tahuan ibunya kali ini benar-benar sudah berlebihan. "Itu urusan ranjangku dan Sevy, Bu. Kami tidak perlu mengumbar semua itu pada siapa pun."

Maggie menarik napas panjang. "Ibu hanya ingin memastikan bahwa kau memperlakukan Sevy dengan baik."

"Ibu bisa memastikan itu pada Sevy tanpa bertanya tentang urusan ranjang kami."

"Sean," panggil Maggie, berusaha menarik perhatian putra sulungnya itu. "Sevy adalah wanita yang baik. Karena itulah Ibu menjodohkanmu dengannya."

"..."

"Jangan perlakukan dia dengan buruk seperti Javier memperlakukan Kyara saat mereka masih menikah dulu."

Kepala Sean sontak bergerak untuk menatap sang ibu.

"Ibu tidak ingin kedua putra Ibu harus mengalami kehancuran karena penyesalan."

"Ibu terlalu berpikir jauh di saat aku baru resmi menikah dengannya kemarin," sahut Sean cepat. "Aku jelas memperlakukan Sevy dengan baik. Pernikahanku pasti akan berhasil selama Sevy tidak mencurangiku."

"Sevy tidak akan melakukannya."

Sean mengedikkan bahunya tak acuh. "Dan tolong jangan membahas tentang kesalahan Javier lagi, Bu. Dia sudah cukup tersiksa karena perpisahannya dengan Kyara."

Maggie menarik napas berat. Tiap kali mengingat keadaan putranya setelah berpisah dengan sang menantu, Maggie selalu merasa miris. Maggie sangat ingin meminta tolong pada Kyara, tapi ia tahu kedua putranya tidak akan menyetujui.

Melihat keterdiaman ibunya, Sean memilih kembali melanjutkan sarapan. "Aku tidak melihat Sevy sejak tadi."

"Kau baru menyadarinya setelah separuh isi di piringmu sudah hampir habis. Apa itu yang kau katakan bahwa kau akan memperlakukannya dengan baik?"

Lagi, ibunya harus membuat Sean menarik napas. Sepertinya, Sean memang harus membicarakan rencana kepindahannya ke rumah baru bersama Sevy. Sean yakin ia tidak akan pernah tenang jika tinggal bersama ibunya seperti ini.

"Sevy berangkat pagi sekali tadi. Ada hal mendadak yang harus diurus di toko rotinya."

Ah, Sean juga akan membicarakan ini dengan Sevy nanti. Wanita itu tidak bisa pergi seenaknya tanpa memberitahunya sama sekali. Lihat saja karena kecerobohan itu, Sean harus mendengar pertanyaan tak masuk akal dari ibunya tadi. Pun juga tiap kalimat-kalimat yang menurutnya sedikit menyebalkan.

"Aku akan meneleponnya nanti."

"Itu bagus. Kau harus mulai menjalin komunikasi yang baik dengan istrimu."

Jika saja bisa, Sean ingin mendengkus jengkel dengan tiap kalimat dari sang ibu. Tetapi sayangnya, sekalipun merasa kesal, Sean tidak bisa melakukan hal itu di depan ibunya.

"Ibu hanya ingin memastikan kebahagiaan bagi kedua putra Ibu."

Sean membuang napas pelan. "Aku tahu." Karena itulah Sean memilih untuk mengiyakan permintaan ibunya daripada harus melihat wanita paruh baya itu terus merengek lalu jatuh sakit seperti dua bulan yang lalu. Sean mengusap bibirnya dengan serbet kecil di atas meja, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tapi ketika Ibu sudah menikahkanku, rumah tanggaku adalah urusanku dan istriku. Selama aku atau Sevy tidak meminta bantuan Ibu, itu berarti kami baik-baik saja," lanjutnya. "Demi Tuhan, aku baru menikah kemarin, Bu. Dan aku juga sudah mengatakan pada Sevy akan menjalani pernikahan ini dengan baik."

Never Know [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang