Bab 1

376 6 0
                                    


Indah suasana pagi ini sama seperti situasi kondisi hati rayya. Cerah.
Mentari yang hangat menelusup pada kulit putih bengkoangnya. Matanya menutup, hidungnya menghirup udara segar pagi ini.

Tok. Tok. Tok.

Gadis yang asalnya menatap diri kearah luar jendela pun menoleh, menunggu sebuah kalimat yang akan terlontarkan dari orang di balik pintu kamarnya.

"Khumaira! Ditunggu abahmu di musalla!."

Rayya berdecak sebal. Pasalnya is sangat malas untuk mulai mengaji pagi-pagi begini.

Abahnya selalu begitu. Mengatur semua waktu sehari-hari Rayya, dan itu membuat Rayya tidak bisa merasakan kebebasan. Ia juga putri abah yang terbilang sangat mendapatkan kedisiplinan yang amat disiplin.

Dengan gerakan super cepat, Rayya memutar tubuhnya dan kembali ke tempat tidurnya. Ia akan pura-pura tidur. Dan dia akan tenang dengan kepura-puraannya karena pintu kamarnya sudah terkunci sejak tadi. Walaupun sudah seringkali Rayya di ingatkan untuk tidak mengunci kamarnya, namun Rayya selalu tidak menghiraukan ucapan uminya.

"Khumaira?"

Rayya tetap diam. Menunggu beberapa menit lagi.
Satu menit...
Tiga menit...
Lima menit...

Rayya sudah tidak mendengar suara uminya lagi. Rayya menyibak selimut yang menutupi wajahnya.
Dia tersenyum.
Berhasil...

Seorang lelaki berumur 50 tahunan berjalan ke arah musalla. Romo yai Ridlwan, seorang pengasuh pondok pesantren Darul In'am. Room yai Ridlwan merintis pesantrennya sendiri. Dengan segala perjuangan, tirakat, dan barokah dari para murobbi beliau. Dulu santri romo yai Ridlwan tidak sebanyak ini dan keadaan pesantrennya pun sudah berbeda. Berkat mencari ilmu seng tenanan dan remen ngalab barokah, romo yai Ridlwan bisa membuat pesantrennya semakin maju dan berkembang.

"Umi..."
"Dalem, enten nopo abah?" Umi yang kebetulan lewat di depan musalla, langsung menghampiri abah.

"Panggilkan Khumaira, waktunya ngaji."
"Nggeh.."

Langsung Umi melangkahkan kakinya menuju kamar Khumaira. Abah dan Umi memang biasa memanggil Rayya dengan panggilan Khumaira. Karena abah dan umi berharap Khumaira bisa seperti Aisyah.

Setelah sampai di depan pintu kamar Khumaira. Umi mengetok pintu kamar dengan pelan.

Tok. Tok. Tok.

"Khumaira! Ditunggu abahmu di musalla!!"

Menunggu sebentar, namun belum juga ada jawaban.

"Khumaira?"

Masih tidak ada jawaban. Tangan kanan umi memegang engsel pintu dan menekankannya ke bawah, ternyata pintu terkunci.

Umi menggelengkan kepalanya pelan, beliau sudah menebak-nebak pasti Khumaira tidur lagi seusai menunaikan ibadah sholat shubuh.

Umi membalikkan badannya, melangkahkan kaki kembali menuju musalla.

"Maaf abah, kamar Khumaira boten kengeng di buka, di kunci."

Abah menarik nafas panjang, sikap putrinya selalu saja begini. Terkadang abah heran sendiri, kenapa bisa ia mempunyai seorang putri yang sangat pemalas. Dibandingkan dengan kakak-kakaknya yang terbilang rajin, Khumaira sangat berbeda sendiri.

🌙🌙🌙

HELLOOOOOO!!!!
Sebenarnya cerita ini complete di cerbung (check group Feel Something of Santri)
Biar lebih jelas aja, Dan enak di baca hwhw
Thanks for reading!!!!
💙💙💙
See you!

ANA UHIBBUKA FILLAH (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang