Mereka memang tidak pernah akur, kalau ada yang berpikir saudara kembar itu akur, tidak pernah bertengkar, itu adalah salah besar. Sejak kecil Nana dan Avin sudah seperti tikus dan kucing.

Nana memajukan bibir sambil meraih boneka kelinci kesayangan Avin yang ditaruh di atas kasur.

"Taruh nggak, tuh boneka!" tekan Avin dengan nada memerintah.

"Pinjem, sih! Pelit amat." Nana menolak memberikan itu. "Boneka kumel gini, lo kayak cewek! Masa cowok main boneka!"

Avin merebut paksa boneka di tangan Nana. Gadis berambut curly itu hanya bisa memanyunkan bibir.

"Lo rese banget sih, Na!"

"Vin, gue serius lah sama lo. Di Jakarta ini lo kan pengen healing, walaupun gue udah nyaranin ke lo. Kalau mau healing mending lo pergi ke pedalaman. Bukan ke kota besar kek gini. Tapi, its okay lah. Gue paham lo nggak bisa jauh-jauh dari kota. Cuman suer, ya, buang boneka itu please! Lo ngapain sih masih simpan benda yang ngingetin lo sama masa lalu lo itu!" tekan Nana. Sudah berulang kali Nana menyarankan itu tapi Avin tidak menggubris sama sekali.

Kali ini Nana menatap Avin dengan serius.

"Gue buangin sini! Gue yakin tuh boneka ada guna-gunanya, deh! Lo bisa kan, balik kayak dulu lagi, Vin? Buang itu boneka! Cepetan!"

"Jangan ngomong lagi. Gue dah pernah bilang, boneka ini satu-satunya yang nggak bisa gue buang, Na!" tolak Avin tidak berubah, dia selalu berkata begitu pada Nana setiap kali Nana ingin Avin membuang boneka kelinci milik Ghea tersebut.

"Iya karena itu satu-satunya peninggalan Ghea, kan? Gue tahu lo tuh merasa bersalah, tapi please, lo harus bangkit dan nggak bisa gini terus, Alvino!"

Avin menggeram pelan. "Diem lo!" Dia mengedarkan pandangan sambil meremas boneka yang ada di tangannya kemudian melemparnya ke atas tempat tidur.

"Nggak ada salahnya gue simpen itu boneka. Lo nggak usah berlebihan, Na," kata Avin lalu mengusap wajahnya.

"Capek gue sama lo! Ghea meninggal bukan karena lo! Itu pilihan dia sendiri karena kematian Derby. Dan lo itu nggak salah, Avin! Berhenti menyalahkan diri lo sendiri!" Lavina meninggikan suaranya, dia sudah tidak tahan dengan kembarannya yang terlalu lemah.

"Balik jadi Alvino yang gue kenal! Nggak ada gunanya lo melarikan diri ke Jakarta, kalau diri lo sendiri belum bisa ikhlas, Vin!"

"LAVINA LO BISA DIAM NGGAK!!"

Pranggg!

Avin melemparkan cangkir yang semula ada di tangannya ke tembok tepat di belakang Nana berdiri. Kembaran Avin itu sampai gemetar. Avin selalu begitu, dia selalu emosional jika Nana berbicara tentang masa lalunya, tentang gadis bernama Ghea Sabrina.

"Lo bunuh gue aja sekalian, Vin! Lo lebih suka gue sebagai saudara lo mati, kan? Dibanding gue ngomongin masa lalu yang hampir renggut masa depan lo! Inget, Vin! Ada mamah papah yang selalu berharap lo kayak dulu! Alvino yang meskipun punya geng motor di Bandung, jadi ketua pula, tapi lo itu berprestasi, dan lo itu nggak kayak sekarang!"

Avin meremas telapak tangan, dia menyesal, dia menyesal sudah bertindak kasar pada Nana.

"Maafin gue, Na."

Love Me Again (REPOST)Where stories live. Discover now