27. I'm Yours [End]

1.3K 225 155
                                    

•••

Sehebat apa pun pesona mereka. Seterampil apa pun mereka dalam memikat hati. Namun, jika aku hanya mencintaimu, aku bisa apa?

•••

Setelah hanya mendung menyelimuti sejak pagi, siang ini akhirnya hujan turun di langit Ibu kota. Menguarkan aroma khas tanah basah yang sebelumnya dilanda kekeringan.

Beberapa mahasiswa yang tidak ada kelas saat ini memilih berkumpul di kantin untuk sekedar menunggu hujan reda sembari jajan. Termasuk keempat orang yang sedang menikmati mie instan panas di salah satu meja.

"Salah satu bukti dari bahagia yang sederhana adalah makan mie kuah pas hujan. Beuh, mantul!" Kibo berkata, menyeruput kuah mie instan rasa ayam bawang dengan nikmat.

Yang lain mengangguk setuju. Qinan menimpali, "Apalagi kalo bareng sama temen kayak gini. Nikmat mana lagi yang kanu dustakan?"

Sisanya tertawa pelan. Res melirik Rama yang duduk di samping Kibo diam-diam, tersenyum tipis sebagai bentuk rasa syukurnya. Setelah merasakan kekosongan di minggu-minggu terakhir ini, akhirnya kekosongan itu kembali terisi dengan kahadiran Rama.

Sebanyak apa pun kekecewaan yang mereka rasakan pada Rama, itu tak sebanding dengan banyaknya momen manis yang selama ini mereka lalui bersama. Bagi mereka, Rama akan selalu jadi Rama yang mereka kenal. Mungkin kemarin dia hanya tak sengaja melewati batasnya saja, buktinya hari ini pemuda itu sudah kembali lagi bersama mereka.

"Gue harap kita akan selalu begini."

Pandangan tiga orang itu langsung tertuju pada Res. Mereka terdiam, tiba-tiba merasakan aura melow mendadak datang.

"Maksud gue, kita gak perlu selalu bareng atau selalu ngabarin satu sama lain. Tapi setidaknya kita akan menyempatkan waktu buat kumpul kayak gini, buat sekedar makan, atau buka sesi curhat kayak biasa."

"Lo kenapa tiba-tiba ngomong gitu?" tanya Kibo, bingung. Suasananya terlalu berubah mendadak, dia kaget.

"Gak apa-apa, pengen aja. Sekarang kita masih semester 1, masih bisa leluasa kayak gini. Tapi, mungkin semester-semester depan akan susah, karena kita beda jurusan, kita juga punya kesibukan yang berbeda. Gue cuma harap kita bisa saling ngertiin aja," jelasnya, lalu mengerjap, merasa aneh dengan tatapan teman-temannya itu. "Kenapa kalian liatin gue kayak gitu?"

"Gak apa-apa, kita cuma terpana." Qinan menyengir.

Res tersenyum kikuk. "Sebenarnya, gue ngomong gini juga karena situasinya sama kayak yang dialami gue dan Kak Rizal."

"Kenapa? Kalian ada masalah?"

Res mengendik, ia menyeruput kuah mie instan sotonya lebih dulu sebelum menjawab. "Akhir-akhir ini dia susah buat dihubungi, kita juga jarang banget ketemu. Katanya sih, dia lagi sibuk sama tugas kuliah dan organisasi. Kadang gue kesel, tapi gue coba buat ngertiin dia," ungkap Res mengeluarkan unek-uneknya.

"Yups, bener! Kuncinya cuma harus saling ngertiin. Gue yakin Kak Rizal gak akan kabur dari lo kok. Kalo pun kabur, tenang masih ada gue!" Kibo mengedutkan alisnya, langsung dibalas dengan todongan garpu Res yang siap mencolok matanya.

Rama tersenyum sederhana, lalu melihat Qinan yang sedang terawa lebar di depannya. "Kalo lo gimana, Qi?" tanyanya tiba-tiba.

"Hm?" Qinan mergerjap. "Gue kenapa?"

"Lo sama Kak Galang gimana?" tambah Rama.

"Gimana apanya?"

Yang lainnya langsung mendelik bersamaan. Entah Qinan itu sedang pura-pura tak tahu atau dia memang benar-benar tak peka. Kadang, Qinan memang semenyebalkan itu.

BITTERSWEET : TWINS (2) ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora