17. Rama dan Karma

1K 161 28
                                    

Ketika rasa sudah terlalu mendalam sampai melupakan rasa sakit yang ditimbulkan, apa itu masih bisa disebut cinta?

°°°

Sore itu, ketika mendung mendadak menyelimuti langit jakarta, Galang dan Qinan sudah tak lagi berada di pinggir jalan dekat gerobak es cendol. Atas ajakan Galang, mereka berpindah tongkrongan ke salah satu tempat yang pernah mereka kunjungi dulu.

Kafe Kak Edi.

Di lantai dua kafe masih sama seperti dulu, masih ada balkon yang menghadap langsung ke arah danau yang tak jauh di belakang tempat tersebut. Kedua orang itu berdiri di pingir pagar pembatas sambil memegang cup kopi dingin yang mereka beli, memandangi pemandangan yang masih terlihat indah meski cuaca sedang tak cerah.

"Gue denger semua percakapan lo sama Rama tadi."

Gerakan Qinan saat menyedot minuman langsung terhenti, arah pandangan yang semula tertuju pada pemandangan di sana langsung beralih pada pemuda di sampingnya. Tak ada raut wajah terkejut, seakan sudah menduga akan hal itu. Justru yang nampak adalah raut wajah sedih darinya.

"Maaf."

Satu kata itu terlontar dari bibir Qinan, Galang mendesah kasar, lu menyentil pelan kening gadis itu. "Ngapain minta maaf? Rama yang salah, bukan lo."

Qinan mengangguk, tersenyum pahit. "Iya, Rama yang salah," katanya pelan.

Galang tak tahu bagaimana rasanya jadi Qinan, tapi mungkin saja rasanya sama seperti dikhianati orang terdekat sendiri. Sama seperti yang dia rasakan pada Gilang, atau malah lebih sakit? Hanya Qinan yang tahu rasanya.

"Jadi itu alasan kakak ngikutin aku tadi?" tanya Qinan.

Galang mengangguk jujur.

"Apa itu juga alasan kakak ... izinin aku ketemu siapa aja lagi?"

Diam, Galang membisu sesaat, lalu mengalihkan wajah dari Qinan dan menerawang ke depan. "Ya, gue gak mau lo makin tertekan karena gue."

Gadis berponi itu terhenyak, tangannya meremas pelan pada cup kopi dingin yang dia pegang.

"Sebenarnya gue marah banget sama omongan Rama soal gue tadi. Tapi setelah dipikir-pikir mungkin ucapannya memang benar." Galang menoleh pada Qinan, gadis itu sedang memperhatikannya lamat dengan mata bening yang berkaca-kaca. "Kayaknya gue emang sering banget buat lo murung, ya? Buat lo sedih dan buat lo nangis."

"Enggak, Kak. Bukan salah kakak." Qinan mengelak, tapi air matanya malah menetes tak terduga.

Galang tertawa pelan, membalikkan tubuh menghadap Qinan seutuhnya, lalu mengangkup pipi gadis itu. "Katanya enggak, tapi kenapa lo nangis?"

"Aku terharu," ungkap Qinan jujur.

Galang tetawa lagi, jari jempolnya bergerak mengusap sisa-sisa air mata Qinan. "Gak usah lebay," katanya lalu menarik pelan lengan Qinan dan menyuruhnya duduk di kursi. Untungnya tak ada pengunjung lain di sana, mereka jadi bisa bebas tanpa malu diperhatikan seperti yang terjadi di pinggir jalan tadi.

"Kalo emang gue sering buat lo sedih, gue minta maaf."

"Enggak, Kak. Jangan gitu."

Senyum Galang terbit lagi. Qinan terpana. Padahal baru beberapa jam lalu ia melihat raut wajah kekecewaan dari Galang, baru beberapa jam lalu wajah Galang begitu tajam menyorotnya, dan baru beberapa jam lalu dia mendengar kalimat bentakan dari pemuda tersebut.

Makin ke sini, Qinan semakin merasa jika dia tak mengenali Galang dengan baik. Dia kira dia sudah tahu semua tentangnya, tapi ternyata dia salah, ada banyak hal yang belum dia ketahui. Termasuk minuman favorit Galang, yang ternyata lebih menyukai minuman dingin daripada minuman panas. Hal sekecil itu pun ia tak tahu, bagaimana dengan seluk beluknya yang lain?

BITTERSWEET : TWINS (2) ✓Where stories live. Discover now