2. Rasa yang tak mau lepas

1.2K 248 48
                                    

"Saking bodohnya, meski sakit aku tak sanggup untuk pergi."

°°°


Qinan berlari dari parkiran hingga ke fakultasnya, seraya merutuki diri karena bisa-bisanya melupakan jika pagi ini ada jadwal kelas dari Bu Devi.

Ia mengintip dari jendela kelasnya, lalu menghela napas lega karena dosennya itu belum datang.

Memasuki ruangan, Qinan langsung duduk di bangku yang tersisa di jajaran paling depan. Seseorang mencoleknya dengan pulpen dari belakang. Qinan menoleh, wajahnya teihat memerah karena kelelahan.

"Tumben lo telat, Qi?" tanya Lia teman dekat di jurusannya.

"Padahal tadi gue bangun subuh-subuh, tapi malah ketiduran sampe kesiangan," jawab Qinan dengan wajah memelas.

"Ututu kasian temen gue. Lain kali pasang alarm dong," balas Lia lagi.

Qinan mencibir kecil, kembali menghadap ke depan ketika bersamaan dengan itu dia menerima pesan chat dari seseorang.

Kak Gilang: maaf nanti gak bisa jemput

Tanpa sadar Qinan menghela napas membacanya. Ia kemudian membalas, mengatakan jika dia tak masalah soal itu. Lagipula Qinan juga membawa motor sendiri hari ini. Walau entah kenapa Qinan sedikit menyayangkan hal itu.

Qinan mengeluarkan buku dan pulpen dari tasnya, namun kemudian pulpennya terjatuh ke bawah meja. Qinan membungkuk, hendak mengambilnya, tapi mendadak terdiam ketika sepasang sepatu berhenti, tepat menginjak pulpennya tersebut.

Qinan langsung menganga lebar. Orang yang menginjak, mengambil pulpennya yang sudah remuk itu, Qinan menegakan tubuh lantas terdiam dan menelan semua omelan yang hendak dia keluarkan saat melihat siapa orang itu.

Gadis tersebut menaruh pulpennya di atas meja. Kemudian berkata dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Maaf, gak sengaja." Setelah itu dia melengos begitu saja menuju meja belakang.

Qinan memperhatikan kepergian gadis itu. Diam-diam menghela napas kasar, dan merelakan pulpen kesayangannya tersebut remuk, meski untungnya isi pulpennya masih utuh. Lia mencondongkan tubuhnya ke samping Qinan, lalu berkata dengan nyinyir.

"Jangan percaya, Qi. Dia sengaja tadi, dia bahkan liat pas pulpen lo jatoh."

"Udahlah, Li. Gak perlu dipermasalahin. Siapa tau emang gak sengaja." Balasan Qinan membuat Lia sebagai saksi mata menepuk jidat, dibuat kesal dengan sikap Qinan yang seringkali terlalu pasrahan begini.

"Lo itu kenapa sih selalu ngalah sama si Alya? Apa karena dia pacar sahabat lo?" Qinan tak menjawab sama sekali, mengabaikannya sambil memilih-milih pulpen miliknya yang lain. "Ck, Qi. Kalo gue jadi lo gue bakal bilang kelakuan si Alya ke si Rama, biar putus aja sekalian."

"Eh, mulut lo ya! Gak boleh gitu."

"Lo bener-bener gak bisa diajak kompromi, kalau mereka putus 'kan gue bisa maju," ungkap Lia merasa sebal. Sebagai pengagum Rama rasanya dia gatal ingin menikung Alya, ia benar-benar patah hati ketika Rama menerima cintanya Alya.

Andai saja bukan karena Qinan, Lia sudah pasti akan berusaha mati-matian mengejar pemuda itu. Kalau soal tikung-menikung sudah keahliannya sejak SMA. Ia kemudian mencibir, mengingat bagaimana Qinan selalu mencegahnya untuk menikung.

"Kadang gue mikir, Qi. Bisa-bisanya gue tobat gara-gara lo."

Qinan terkekeh geli, berbalik dan mencubit pipi Lia dengan gemas. Dan berkata dengan alay, membuat Lia dan teman-teman yang lainnya mendelik geli. "Aduh anak baik, anak pinter, jangan nakal-nakal ya sayang."

BITTERSWEET : TWINS (2) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang