- 38 Ketika Semuanya Sudah Terlambat

249 19 3
                                    

"Ketika saat itu tiba, saat dimana semuanya telah terlambat untuk mengetahuinya, untuk mencegahnya, atau bahkan untuk menghindari hal itu terjadi. Kita sebagai manusia hanya bisa pasrah dan menangis, karena ketika semuanya sudah terlambat, hanya rasa penyesalan yang ada di batinnya."

***

Tulisan tangannya tergores di atas kertas putih kosong tanpa noda itu dengan begitu rapi dan terbaca jelas. Khas sekali tulisan tangan seorang perempuan. Kedua bola matanya sudah basah dengan air mata, namun bibirnya tetap tersenyum manis meski sulit.

Di bawah lampu remang-remang itu, Lui menangis ketika menumpahkan segala isi hatinya serta rahasianya di atas buku bersampul putih dengan motif kelinci miliknya. Dengan tangan gemetar, ia memegangi perutnya yang sudah membesar. 

Hari ini, tepat di hari yang membawa kabar baik serta kabar buruk untuknya, usia kandungan Lui genap memasuki bulan ke sembilan lebih tiga hari. Kabar baiknya adalah, bayi di dalam rahim wanita itu dalam keadaan yang sehat dan baik-baik saja ketika ia dan Aldy melakukan check up tadi pagi. 

Lalu, kabar buruknya Lui dapatkan di sore hari tadi ketika ia diam-diam kembali ke klinik untuk memeriksa penyakitnya. Kanker di paru-paru bawahnya terus menjalar dan bahkan hampir menyentuh bagian perutnya. Kanker stadium akhir itu sudah tidak bisa lagi di angkat, yang Lui bisa lakukan hanyalah terus meminum obat yang menghambat pertumbuhan kanker tersebut.

Tak apa, semua akan baik-baik saja ketika bayi di dalam rahimnya sudah keluar dan hidup di dunia yang luar biasa luas dan penuh lika-liku kehidupan. Dan ketika semua itu terjadi, saatnya Lui untuk meninggalkan dunia ini dan mengucapkan hallo sekaligus selamat tinggal kepada bayi cantiknya.

"Nak, kamu harus berjuang sendirian tanpa Mama nanti, dan kamu harus kuat, Mama percaya kamu adalah anak hebat yang Tuhan titipkan ke Mama dan juga Papa," gumamnya sambil mengelus pelan perutnya.

Lui mengelap air matanya dengan punggung tangannya cepat-cepat ketika mendengar suara mobil Aldy yang sudah datang dan terparkis di garasi. Aldy masuk dengan sempoyongan karena kelelahan.

Sampai di depan pintu kamar, Aldy mendorong pintu tersebut dengan sisa tenaga yang ia miliki. Lui bangkit dari duduknya dan segera berkemas lalu berjalan menghampiri Aldy.

"Mas? Mas mabuk?" tanya Lui polos walaupun tidak mencium bau alkohol sama sekali dari tubuh suaminya.

"Nggak, sayang, aku cuman kecapean doang kok," jawab Aldy sambil merangkul istrinya.

Lui tersenyum lalu mengantar Aldy ke ranjang dan menyuruh Aldy untuk berbaring di kasur. 

"Bentar ya, aku ambilin minum dulu," ucap Lui yang hendak berbalik.

Namun, sebuah tangan menahan pergelangan tangan Lui. Lui berbalik lagi dan melihat Aldy sudah duduk di pinggiran ranjang sambil menatap ke arahnya.

Lui menatap Aldy dengan tatapan sendu. Aldy menepuk tempat kosong di sampingnya untuk memberikan isyarat pada Lui agar duduk di sana. Lui menurut dan duduk di samping Aldy.

"Kenapa, Mas?" tanya Lui.

"Kenapa kamu selama ini diam, hm?" 

Kedua bola mata Lui melotot karena kaget dengan pertanyaan Aldy barusan. Namun, tak lama bola mata hazel milik Lui itu kembali berair dan dibanjiri dengan genangan air mata yang menerobos ke luar dari batas pelupuk mata.

Astheneia 2: End With YouWhere stories live. Discover now