180 Derajat

40 6 1
                                    

"Maaf, Gus. Pengandaian jenengan itu tidak akan pernah terjadi. Karena faktanya jenengan itu sudah beristri," ucapnya dengan menatapku sendu. Aku menghela napas dan membenarkan posisi duduk. Kutaruh ponsel yang sedari tadi kugenggam di atas meja seraya mencari jawaban yang tepat untuk Aya.

"Aku tidak sedang membuat pengandaian, Nduk. Memang faktanya aku tak beristri." Mataku tak bisa lepas menatapnya saat mengatakan demikian. Aku ingin melihat reaksinya saat mendengar statusku saat ini.

Dia mengernyit kemudian menggeleng.
"Jenengan bercanda, kan, Gus?"

"Nuwun sewu, Gus." Ifan, sang pramusaji menjeda obrolan kami saat mengantar pesanan. Senyum tipis tersemat di wajah Aya saat mengucapkan terima kasih pada Ifan.

Asap tipis dari secangkir kopi di hadapanku menguar seiring dengan sepoi angin yang berembus dari sisi waduk. Kuhela napas sesaat untuk kembali melanjutkan obrolan.

"Aku tidak bercanda, Ay," ujarku tenang, tetapi tidak dengan hatiku. Kilasan kejadian beberapa tahun lalu seakan berkelebat di depan mata.

"Aku tidak mungkin bercanda dengan statusku." Kembali kutegaskan jika kini posisiku benar-benar telah sendiri.

"Lalu, di mana Ning Amalia?" Nada penasaran terdengar dari tekanan bicaranya. Aku mengembus napas perlahan dan menunduk dalam.

"Dia sudah bahagia," ucapku seraya menerawang mengingat masa kelam beberapa tahun yang lalu.

"Innalillahi wa Inna ilaihi rojiun, astaghfirullah, maafkan saya, Gus," gumam Aya yang masih bisa kudengar. Aku pun seketika  terhenyak dan tersenyum geli.

"Amel masih hidup, Ay. Tapi dia sudah bahagia dengan lelaki pilihannya, dan itu bukan aku." Sesaat hening tercipta diantara kami berdua. Alunan lagu Osing yang mengalun sayup-sayup terdengar dari tempat kami berada.

Aya bergeming. Begitu pun diriku. Tidak ada yang memulai percakapan.

"Nduk," panggilku. Posisi kami yang tersekat meja memudahkanku untuk leluasa bisa memerhatikannya. Dia mengangkat wajahnya. Sesaat kami saling bersitatap. Kuselami perasaan dari netra coklatnya. Masih adakah rasa yang sama seperti dulu?

"Maafkan aku, Nduk. Maaf jika dulu sikapku mungkin menyakitimu." Menyesal. Hanya itu yang bisa kuratapi sekarang. Andai dulu tak ada drama pernikahan dengan Amalia, mungkin tak akan seperti ini kejadiannya.

"Semua sudah digariskan oleh Allah, Gus. Kita tidak tahu bagaimana jalan yang akan kita tempuh. Sesekali pasti ada jalan terjal yang akan kita lewati." Aku tersentuh dengan kalimat yang keluar dari bibir gadis dewasa di hadapanku. Aku pun mengangguk membenarkan ucapannya.

Aura canggung kembali tercipta di antara kami berdua. Kupersilakan Aya untuk menikmati makanan yang sudah tersaji di hadapan kami berdua. Aya terlihat kembali bergerak gelisah. Sesekali dia melihat ponselnya.

"Nduk, minum dulu esnya," pintaku seraya mengangkat cangkir kopi untuk kunikmati.

"Njih, Gus. Saya mau hubungi Salma dulu." Dia menunjuk ponselnya. Aku mengangguk dan membiarkan dia menghubungi sahabatnya.

Rasa pahit kopi yang kusesap melempar ingatanku pada kenangan saat pertama kali debar tak biasa dalam dadaku terasa kala bertemu dengan Aya sembilan tahun yang lalu.

Raut wajah yang innocent saat aku menatapnya membuatku sampai terbawa mimpi. Hingga rasa penasaran untuk mencari tahu tentangnya pun sampai kulakukan.

"Mbak Ana, mbak yang beberapa hari dihukum buat bersihin ndalem itu namanya siapa?" tanyaku saat itu pada Mbak ndalem saat dia menyiapkan minuman untuk tamunya Abah.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang