PERANG DINGIN (1)

46 5 7
                                    

Sejak kemarin aku tengah sibuk mencari bahan untuk persiapan seleksi lomba minggu depan. Saat jam istirahat aku dan Salma lebih banyak menghabiskan waktu di laboratorium komputer. Pastinya setelah izin kepada petugas lab.

"Lebih gampang yang ini sepertinya, Ay. Sesuai dengan tema juga," komentar Salma usai membaca sekilas teks yang masih terpampang di layar komputer.

"Emang kamu tahu artinya, Sal?" Salma memukul lenganku kemudian menunjuk judul yang sudah tertera terjemahnya. Aku pun tertawa saat menyadari.

"Mohon maklum, Sal. Otakku masih dipenuhi dengan Guse." Spontan Salma berceramah panjang kali lebar ditambah tinggi. Dia mengatakan jika sekarang aku harus fokus pada persiapan ini, tidak boleh terpecah dengan yang lain apalagi perihal Gus Dafa.

"Tapi kalau melihat Guse aku tambah semangat, loh, Sal!" Salma memutar bola matanya.

"Halah! Mbelgedes! Semangat? Ora percoyo. Kamu itu kalau ada Guse bawaane halu. Pikiranmu tekan endi-endi, Ay. Koyo wingi iku," protes Salma membuatku hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal.

Kejadian di kelas kemarin membuat aku malu bukan kepalang dengan Gus Dafa. Bisa-bisanya aku membayangkan jika Gus Dafa sedang melamarku. Benar-benar gila sepertinya aku ini. Dipanggil namanya saja sudah halunya seperti itu, kalau ditawarin beneran pasti bakalan pingsan.

"Ya jenenge wong kesengsem, Sal."

"Halah, wis ora usah mikir koyo ngono. Intinya sekarang kamu kudu fokus ini. Katanya kamu mau membuktikan pada Ida." Mendengar nama itu disebut jiwa semangatku kembali berkobar.

Ya. Aku harus membuktikan jika aku mampu dan bisa melakukan ini semua. Biar dia tak seenak udelnya mencaci dan mencemooh orang lain.

Usai mengcopy file yang telah kupilih, kami pun menyudahi kegiatan di labkom kemudian menuju tempat foto kopi yang terletak bersebelahan dengan ruang perpustakaan.

"Mau ikutan seleksi pidato, Ay?" tanya petugas fotokopi yang merupakan anggota OSIS bidang perekonomian. Aku mengangguk.

"Ya gitu, Ay. Sekali-kali ikut kegiatan yang menantang dan bermanfaat." Mak jleb banget kata-katanya. Apa selama ini aku tidak pernah melakukan hal yang bermanfaat? Aku hanya tersenyum garing.

Usai menyerahkan sejumlah uang untuk membayar biaya cetak dan fotokopi kami bergegas meninggalkan tempat tersebut untuk menuju kelas karena bel tanda masuk jam usai istirahat sudah berbunyi.

"Jangan dimasukin hati ucapan Ina tadi." Aku menggeleng.

"Setiap orang punya pandangan dan penilaian masing-masing untuk melihat orang lain. Itulah kenapa terkadang kita harus melakukan muhasabah binnafsi."

"Selama ini aku sudah berusaha tak melihat kanan kiri. Semua cemoohan kuanggap angin lalu. Tetapi semenjak Ida yang dari awal tak pernah mengataiku tiba-tiba berubah seperti itu aku baru sadar, Sal. Jika ternyata banyak orang yang tidak menyukaiku." Entah kenapa aku menjadi melow tak seperti biasanya.

"Sudah gak usah dipikir. Mana Aya yang biasanya pecicilan, cuek dan gak peduli omongan orang? Bukannya baru kemarin kamu bilang jika kamu ingin menunjukkan jika senakal-nakalnya, kamu punya potensi yang bisa membanggakan?" Aku mengangguk. Salma benar.

***
Waktu yang ditunggu telah tiba. Ahad pagi seleksi pidato tiga bahasa digelar secara tertutup di gedung madrasah. Tepat pukul delapan acara akan dimulai. Aku pun bersiap mengenakan kemeja polos maroon dipadu dengan rok hitam. Jilbab square soft pink bermotif shabby menjadi pilihan untuk melengkapi tampilanku pagi ini.

"Sok-sokan ikut seleksi, emang yakin lolos?" ujar Ida saat aku bersiap untuk berangkat menuju madrasah. Aku hanya tersenyum tak menanggapi ucapannya.

"Kalau emang ngoyo gak usah dipaksa, deh. Dari pada ntar akhirnya menang. Menanggung malu maksudnya, ups!" timpal satu temannya yang lain. Cemoohan demi cemoohan masih saja terlontar dari bibir manis Ida dan komplotannya.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora