Kenangan Tentangnya

45 8 10
                                    

___ ... karena tak semua yang kuingin menjadi mungkin dan yang kupinta menjadi nyata.___

Malam mulai menjelang. Suasana sepi mulai menyelimuti. Dendang nyanyian hewan nokturnal pun semakin terdengar nyaring. Suasana desa yang jauh dari hingar bingar keramaian masih begitu terasa di sini. Ya, meskipun jalan depan rumahku yang dulunya terjal berbatu kini telah disulap menjadi jalan mulus beraspal hitam, tetapi suasana asri masih terasa di tempat ini.

Aku masih berjibaku dengan layar persegi 14 inchi di hadapanku. Menyelesaikan beberapa soal yang akan dipersiapkan untuk ujian tengah semester dua minggu yang akan datang.

"Nduk," panggil ibu dari luar kamar. Gegas aku menjawab dan beranjak keluar kamar.

Bapak dan ibu terlihat sedang asyik menonton acara kesayangannya di televisi. Aku merupakan satu-satunya buah hati mereka. Sebenarnya aku memiliki saudara laki-laki, tetapi Allah lebih menyayangi dia sehingga memanggilnya lebih dulu akibat salah satu kecelakaan saat dia pergi berenang bersama teman-temannya. Itulah kenapa salah satu alasan ibu memaksaku dulu untuk masuk ke pesantren.

"Sinetron terus yang ditonton," keluhku seraya mengambil tempat di samping bapak.

"Ya ape ngudang putu durung enek." Mak  jleb banget kata-kata ibu. Itu merupakan kode keras darinya agar aku segera menikah.

Siapa yang tidak ingin menikah? Aku pun sama. Namun, rasa patah hati itu hingga detik ini masih terasa. Padahal tidak hanya satu dua kali laki-laki datang mendekat dan ingin mengikat, tetapi hatiku tak terpikat. Takutnya jika aku nekat mengiyakan, akhirnya berujung kecewa.

Harusnya aku tak mengingatnya kembali, bukankah dia sudah bahagia dengan sang istri? Aku sudah berusaha lupa, tetapi entah kenapa seakan ada hal yang sulit untuk lepas dari hati ini.

Doaku pun tak pernah berhenti. Memohon untuk menghapus rasa yang tak seharusnya lagi ada di hati. Meminta pada Sang Khalik agar diberikan pengganti yang bisa menentramkan hati.

Empat tahun sejak kabar pernikahannya, aku memang sengaja menutup diri untuk tidak mencari tahu tentang kehidupan Gus Dafa. Aku ingin secepatnya melupakan rasaku padanya. Rasa yang tak pernah bersambut tepatnya. Namun, semakin melupakan semakin kuat mengingatnya. Perasaan macam apa ini?

"Kamu suka sama saya?" tanyanya pada satu waktu ketika kita saling bertukar kabar lewat laman whatsApp saat aku baru berstatus mahasiswa baru.

"Kalau saya bilang iya, gimana?" jawabku tanpa berpikir waktu itu.

"Selesaikan dulu sekolahnya. Terus, jangan suka sama saya. Saya sudah punya calon, Ay."

"Masih calon, kan, Gus? Berarti saya masih ada kesempatan untuk menikung!"

Sebuah emot ngakak masuk memenuhi ruang obrolanku.

Rasanya baru kemarin aku melakukan hal konyol untuk mendapatkan hati putra Abah Faqih tersebut. Namun, ternyata selama itu juga aku hanya merasakan suka sendiri tanpa mendapat balas.

"Kamu mau nyari yang gimana lagi to, Nduk. Banyak yang seprofesi denganmu datang ke sini untuk melamar, tapi selalu saja penolakan yang kamu lakukan. Ibu kadang ya malu sama tetangga, sama saudara. Teman-temanmu anaknya sudah hampir tamat SD kamu belum mau menikah juga." Bapak mengelus pundak Ibu menenangkan.

"Salma putrinya juga sudah besar, Azizah apa lagi," imbuh Ibu seakan menamparku.

Jika sudah membahas masalah pernikahan, ingin rasanya aku pergi jauh agar takada lagi cemoohan yang menerpa dan masuk ke telinga.

Hidup di desa yang mayoritas penduduknya masih menginginkan para putrinya agar segera menikah saat lulus sekolah menjadi beban mental tersendiri bagiku.

"Nduk, jika memang kamu sudah menemukan seseorang yang baik dan sesuai dengan apa yang kamu harapkan, bilang sama bapak, ya." Aku bisa menangkap sorot pengharapan dari mata Bapak. Cinta pertamaku tersebut selalu mendukung penuh segala sesuatu yang ingin kujalani.

"Maafkan Aya, Bu, Pak. Belum bisa membahagiakan dan memberikan yang terbaik untuk jenengan berdua. Aya minta maaf jika sampai detik ini belum bisa memenuhi permintaan untuk segera  menikah." Dadaku rasanya sesak mengatakan hal tersebut.

Gegas aku beranjak kembali ke kamar dan menuntaskan tangis yang telah tertahan. Ya Allah, hapuslah namanya dari hati dan pikiran ini. Aku ingin menjalani hidup tanpa ada bayangannya kembali. Aku yakin dia telah bahagia bersama dengan pilihan hatinya.

Benar jika ada yang mengatakan usia 23 sampai 25 tahun adalah berat. Pada posisi ini kita akan dianggap muda tetapi dewasa. Semua itu menjadi beban tersendiri. Pada usia ini semua orang menganggap semua hal yang kita alami sudah dianggap biasa. Kita juga dianggap  kuat bisa menahan semua tekanan, memutuskan dengan benar, membaca masalah di sekitar. Itu merupakan satu hal yang sebenarnya menjadi beban, tetapi itu adalah sebuah penghargaan besar dari orang lain.

Namun, pada usia itu bersedih bukanlah sebuah pilihan yang bisa kita ambil. Kesedihan harus selalu ditutupi karena mereka, orang-orang sekitar kita, menganggap kita adalah orang yang kuat karena sudah dianggap dewasa. Pintar-pintar menyembunyikan kesedihan adalah satu poin yang harus kita lakukan. Menangis sebentar kemudian akan melanjutkan lagi di waktu yang tepat hanya demi untuk melegakan rasa sesak yang menghimpit dada.

Kini aku sedang berada di fase ini. Fase di mana aku harus menekan kuat segala egoku. Aku harus menjadi pribadi yang tegar, kuat dan kebal menghadapi semua hal yang ada di sekitar.

Kuusap jejak basah di pipi dengan punggung tangan. Merapal istighfar seraya mata terpejam menjadi pilihan yang bisa kulakukan kini. Aku yakin, semua ini akan segera berakhir.

Laptopku masih menyala. Aku bergeser menuju meja kerja di samping ranjang. Kutekan tombol enter untuk kembali masuk ke layar beranda.

Inhale, exhale. Inhale, exhale.

Rasa sesak di dada lumayan berkurang. Kunikmati kembali kopi yang sudah dingin. Kopi hitam dengan takaran yang tak pernah berubah.

"Gus, jenengan sudah bahagia kenapa saya masih begini-begini saja ya. Kenapa kebodohan ini masih saja kulakukan?" gumamku seraya tertawa miris.

Amat menyedihkan bukan jika kita mencintai orang yang tak pernah mencintai membalas perasaan kita? Kenapa juga dulu aku menganggap semua yang dia berikan merupakan balasan perasaanku padanya?

Ah, itu semua karena dia menghargai alumni yang berhubungan baik dengannya, salah satunya aku. Selama ini memang salahku.

Kuambil buku pemberian dari Gus Dafa di deretan buku-buku modul yang kita rapi di lemari kaca. Kuusap sampulnya yang sampai detik ini tak pernah berubah. Lembaran yang penuh dengan coretan stabilo menjadi pemandangan yang menggelikan.

Aku yang awam, masih dangkal tentang ilmu fiqih, tak mampu seketika memahami bahasa yang ada di dalam buku tersebut.

"Gus, mungkin kini sudah saatnya aku melebur semua rasa yang hingga detik ini masih setia bertahta dalam dada. Semoga kau di sana baik baik saja dan berbahagia dengan Ning Amalia," gumamku lirih seraya menutup kembali buku tersebut.

Tuhan, terima kasih atas segala rasa ini. Rasa sakit ini cukup membuatku sadar jika tak semua yang kuingin menjadi mungkin dan semua yang kupinta menjadi nyata. Aku sadar, sebaik-baiknya rencana makhluk-Mu, rencana-Mu adalah yang terbaik untuk jalan hidupku.

***





Gus Dafa (Sudah Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt