Obat Peredam Nyeri Hati

51 3 1
                                    

Alunan musik Arab dari sound kecil di gazebo belakang ndalem terdengar hingga di dapur. Selama menjalani hukuman, aku mulai terbiasa mendengar lagu-lagu bernuansa timur tengah tersebut. Dasarnya aku yang suka menyukai musik apa pun genrenya, asal itu easy listening tak butuh waktu lama untuk menghapal nada dan iramanya.

Sejak hari itu tanpa diminta, aku selalu mengantarkan kopi untuk Gus Dafa. Setiap melakukan hal tersebut, aku selalu membayangkan kelak akan melayaninya setiap pagi seperti itu.

"Niki unjukane, Gus. Menawi kirang manis, lak ngunjuk kaleh nyawang kulo mawon."¹ Kalimat itu beberapa kali kulontarkan saat mengantar kopi. Namun, responsnya nihil. Dia akan tetap fokus pada layar persegi di depannya. Apakah aku kecewa? Tidak. Itu berarti usahaku harus lebih gencar lagi.

Namun, di hari ke empat saat kopi yang ke empat kalinya juga kuantar, Gus Dafa sempat berkomentar perihal jilbab yang kukenakan. Sialnya, kenapa aku lupa jika selama dihukum aku mengenakan jilbab pelanggaran itu? Memalukan.

"Belajar yang bener, jangan suka caper. Apalagi sampai melanggar peraturan. Kena hukuman, kan, akhirnya." gumamnya seperti biasa tanpa melihatku. Bunga di hatiku seakan merekah kala mendengar kalimat panjang dari Gus Dafa. Sepertinya mulai ada kemajuan pendekatan yang kulakukan.

Tanpa sadar bibir ini tersenyum sendiri. Hatiku bersorak karena secara tidak langsung Gus Dafa memperhatikanku sejak kemarin.

"Betewe, kok, Guse tau kalau saya dihukum?" tanyaku mencoba menutupi rasa bahagia yang mulai merasuk dada.

"La iku jilbabmu? Lak jelas dihukum to?"  Wajahku memanas seketika. Kenapa gak sadar pakai jilbab warna terang benderang kayak pahlawan mau perang gini? Mood bahagiaku ambyar seketika. Namun, aku tak putus asa. Kuanggap itu bukan ejekan, tapi motivasi untuk tak gentar menghadapi kenyataan.

Tujuh hari menjalani hukuman, banyak hal baru yang tak biasa kukerjakan sekarang menjadi kebiasaan. Salma dan Azizah bilang rajinku mulai ada kemajuan.

Pagi ini, lagu Inta eih milik Nancy Ajram mengalun merdu saat langkahku mendekat di gazebo. Hari ini aku ingin berpamitan padanya jika mulai besok pagi tak bisa membuatkan cairan pekat berwarna hitam tersebut untuknya.

Gus Dafa terlihat lebih segar dari biasanya. Ah, itu mungkin hanya di pikiranku saja. Kemeja navy slim fit dengan sarung berwarna abu semen membuat kulitnya yang kuning langsat terlihat cerah. Ditambah kopiah hitam yang bertengger di kepalnya tak terpasang sempurna menyembulkan rambutnya. Hm, membuatku hanya bisa menelan ludah karena grogi dengan pesonanya.

"Ehm!"

"Nuwun sewu,² Gus. Niki kopine." Dia menatapku sekilas dan hanya menjawab dengan gumaman. Kemudian dia kembali menatap layar laptop dengan khusu'. Aku masih diam tak beranjak dari tempat berdiri. Masih mengumpulkan kekuatan untuk berbicara padanya.

Sejujurnya aku penasaran, sebenarnya apa yang dia kerjakan setiap pagi di tempat asri ini. Namun, aku tak mau dianggap kepo tingkat dewa jika sampai bertanya hal tersebut. Jaga image, Ay!

Hingga beberapa detik berlalu Gus Dafa ternyata tak ada inisiatif sama sekali untuk bertanya. Aku hampir saja lupa tujuan awal ke tempat ini selain mengantarkan kopi.

"Gus, saya ... mau pamitan."

Krik! Krik! Krik!

Gus Dafa malah asyik menggumamkan lagu Arab dari laptopnya itu. Apa dia pura-pura tidak mendengar? Jadi pengin nyumpahin biar dia jatuh cinta sama aku! Huh! Sebel!

"Gus!" panggilku dengan suara lebih keras. Akhirnya dia mengalihkan pandangannya padaku. Wajahnya seakan berisyarat bingung kenapa aku memanggilnya.

"Saya mau pamit. Mulai besok sudah gak bikinin kopi jenengan lagi. Hukuman saya sudah selesai," tuturku tanpa jeda. Dia hanya mengangguk.

Gus Dafa (Sudah Terbit)On viuen les histories. Descobreix ara