Penambah Imun Bahagia

55 4 4
                                    

~~Pembalasan paling elegan untuk sebuah cemoohan adalah pembuktian. Jadikan cacian sebagai motivasi diri, bukan untuk menutup diri.~~

Seminggu sejak tragedi kepeleset di belakang ndalem, kakiku sudah membaik dan bisa kembali beraktifitas secara normal. Obat pemberian dari Gus Dafa pun dengan rutin kukonsumsi. Tak jarang Mbak Ana juga menanyakan kesehatanku. Aku tidak tahu apakah itu perintah Gus Dafa atau inisiatif dia sendiri.

Selama seminggu itu pula aku larut dalam pikiran. Ucapan Ida begitu membekas di hati. Di matanya seakan aku tak ada sedikit pun hal yang bisa dibanggakan. Memang secara akademis aku bukanlah barisan siswa berprestasi jika dibanding dia. Terlebih untuk urusan pelajaran eksak. Begitu pun dengan pelajaran Diniyah. Hanya materi fiqih yang paling kusuka. Namun, tak menutup kemungkinan jika aku menyukai pelajaran yang lain.

Humaida. Gadis cantik berperawakan tinggi tersebut merupakan siswa berprestasi di banyak bidang, terutama bidang akademis. Siapa yang tidak mengenalnya. Seantero pesantren bahkan mengelu-elukan nama tersebut. Sedangkan aku? Ibarat makanan, aku hanyalah remahan yang seringkali terbuang. Takada istimewanya. Jika Ida istimiwir, aku istimawut karena lebih terkenal karena kenakalannya.

Memang benar, jika siswa yang pandai dan yang nakal itu akan seringkali diingat oleh para gurunya.

Hingga kudapati di papan pengumuman pesantren. Seleksi pidato tiga bahasa dan beberapa bidang lain untuk persiapan lomba antar pesantren se-kabupaten Banyuwangi. Acara yang rutin dihelat dua tahun sekali tersebut menjadi ajang para santri dari seluruh pesantren untuk menunjukkan prestasinya.

Aku masih termangu di depan papan pengumuman dan mulai berpikir. Kenapa aku tidak mencoba menunjukkan bakat lama yang telah terpendam? Selama ini aku memang tak pernah menunjukkan kebolehanku dalam bidang seni. Padahal itu salah satu bidang yang kusukai. Salah satunya bermain alat musik. Tak banyak yang tahu perihal kemampuanku tentang ini.

"Sal, ntar bangunin aku Tahajud ya." Dengan senyum merekah Salma mengangguk cepat. Mungkin dia merasa bahagia karena teman nakalnya ini sudah mulai insyaf. Taubat dari kemalasan maksudnya.

Sengaja malam ini aku pergi tidur lebih awal karena ingin lebih fresh saat shalat malam. Aku ingin melaksanakan shalat hajat agar keinginanku kali ini tercapai.

Beberapa hari kemarin selama sakit, untuk membunuh kejenuhan Salma meminjamkan buku bacaan di perpustakaan. Salah satunya berisi tentang kajian dan makna spiritual dalam Al Qur'an. Pada halaman yang berisi tentang nilai spiritual yang terkandung dalam salat, tertulis beberapa hikmah. Selain bermakna zikir dan juga behubungan dengan kesehatan, salat juga memiliki nilai efek kedekatan kepada Allah S.W.T.

Saat melaksanakan salat, kita dianjurkan untuk selalu menyadari jika kita sedang berhadapan dan berbicara langsung dengan Allah. Salah satu media untuk berbicara langsung dengan Sang Pencipta adalah salat. Itulah mengapa, salat memiliki banyak hikmah.

Selain itu, di buku yang kubaca dijelaskan pula jika gerakan salat juga berhubungan erat dengan kesehatan. Hal ini sudah pernah diteliti oleh beberapa ilmuwan. Mereka menyatakan jika sel-sel otak jarang sekali dialiri darah secara merata, kecuali dalam keadaan sujud. Begitu pun dengan suplai Oksigen hanya bisa maksimal masuk 20%, tetapi ketika bersujud suplai oksigen akan lebih banyak.

Tidak sampai hanya di situ, secara prespektif biologi, salat bisa menjadi inter-change energy negatif yang bersarang dalam tubuh kita ke bumi. Dikarenakan bumi mengandung unsur netralistor. Dalam artian semakin kita sering melakukan salat semakin banyak energi negatif yang ternetralisir dari hati dan juga pikiran.

Berangkat dari situ, aku mulai berpikir jika ibadah yang kita lakukan sangat berkaitan erat dengan semua hal yang berada di sekitar dan juga materi pelajaran yang dipelajari.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang